Jizyah adalah harta yang wajib dibayarkan oleh orang kafir sebagai imbalan untuk jaminan yang diberikan oleh negara Islam kepada mereka untuk melindungi kehidupan dan harta bendanya.[1] ’Abū Yūsuf mengatakan bahwa jizyah diwajibkan atas seluruh kalangan ’Ahlu al-Dhimmah, yaitu dari kalangan Yahudi, Nashrani, Majusi, Ṣābi‘ūn, dan Sāmirah. Dikecualikan Umat Nashrani dari Bani Taghlib dan Najran.[2]
’Abū ‘Ubaid mengutip banyak riwayat yang menunjukkan bahwa Rasulullah S.A.W. menerima jizyah dari penduduk Yaman, sedangkan mereka adalah ahlul kitāb, menerima jizyah dari penduduk Najran, sedang mereka berasal dari Bani Harts ibn Ka’ab. ’Abū ‘Ubaid juga menyatakan bahwa sahabat ’Abū Bakr al-Ṣiddīq menerima jizyah dari penduduk al-Hirah, sedangkan mereka gabungan keturunan Arab, yaitu Tamīm, Thayi’, Ghassān, Tannukh, dan lainnya.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Apa itu Jizyah, Source: Photo by Zlatakycz Pexels
Jizyah juga diambil dari orang-orang Majusi, karena Rasulullah S.A.W. mengambil jizyah dari Majusi Hajr, ‘Umar ibn al-Khaṭāb r.a. mengambil jizyah dari Majusi Persia, dan ‘Uthmān mengambil jizyah dari Majusi Barbar.[3] al-Māwardī berpendapat bahwa jizyah tetap diwajibkan atas ahlul kitab sekalipun orang-orang Arab. Menurut beliau jizyah tidak diwajibkan atas orang-orang yang murtad, orang-orang dahriyah (penyembah masa atau atheis), dan kaum paganis atau orang-orang yang menyembah berhala.[4]
Orang yang telah melakukan perjanjian damai dan menunaikan jizyah, maka ia memiliki hak yang harus ditunaikan pula oleh kaum muslimin dan negara. al-Māwardī menjelaskan bahwa ada dua hak yang diperoleh dari kepatuhan membayar jizyah, yaitu mereka tidak boleh diserang dan mereka dilindungi. Dengan demikian, maka mereka akan merasa aman, dilindungi, dan mendapatkan penjagaan.[5]
==========
[1] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), 249. Sayyid Sābiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirūt: Mu’asasah al-Risālah, 2003), 3, 106-107.
[2] ’Abū Yūsuf Ya’qūb ibn Ibrāhīm, Kitāb al-Kharāj, (Beirūt: Dār al-Ma’rifah, 1979), 122.
[3] ’Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām, Kitab al-’Amwāl, Taḥqīq Muhammad Khalīl Harrās, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 31-41.
[4] ‘Alī ibn Muhammad ibn Ḥabīb al-Māwardī, al-’Aḥkām al-Sulṭāniyyah Wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, (al-Qāhirah: Sharikah al-Quds, 2014), 192.
[5] ‘Alī ibn Muhammad ibn Ḥabīb al-Māwardī, al-’Aḥkām al-Sulṭāniyyah Wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, (al-Qāhirah: Sharikah al-Quds, 2014), 191-192.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 41-42.
Thumbnail Source: Photo by Skitter Pexels
Artikel Terkait:
Penetapan Syariat Jizyah