Ash-Shirath berarti jalan. Bisa juga dilafalkan dengan menggunakan huruf sin. Maksunya ialah jembatan yang dibentangkan di atas neraka Jahanam sebagai jalan menuju Surga. Semua manusia pasti akan berjalan di atas shirat. Dan mereka tidak mungkin akan sampai ke surga sebelum melewatinya.
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
وَإِنْ مِنْكُمْ إِلَّا وَارِدُهَا كَانَ عَلَى رَبِّكَ حَتْمًا مَقْضِيًّا (71)
Artinya:
“Dan tidak ada seorang pun dari kalian melainkan mendatangi neraka itu. Hal itu bagi Rabbmu adalah suatu kepastian yang sudah ditetapkan.” (QS. Maryam: 71)
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam menjelaskan bahwa maksudnya ialah berjalan di atas shirath. Sebuah momentum yang sangat menakutkan. Hal itu membuat seseorang lupa keluarga dan sanak saudara, hingga ia selamat darinya.
Keberhasilan seseorang melewati shirath terpulang pada keistiqamahannya meniti jalan yang lurus, shiratal mustaqim. Jalan orang-orang yang mendapat nikmat. Barangsiapa yang istiqamah berjalan di atas agama Allah, agama yang diridhai-Nya, yaitu jalan maknawi, ia pasti bisa melewati jalan hissi, yang dapat diindera, sesuai keistiqamahannya.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Ash-Shirath (Jembatan), Source: Photo by Jacob Pexels
Barangsiapa yang menyimpang dari jalan yang lurus waktu senggang di dunia, dia pasti akan tergelincir di atas jalan yang licin di saat yang susah. Padahal ia telah kehilangan sarana agar kuat berjalan di atasnya, yaitu amal kebajikan.
Di antara dalil yang menjelaskan adanya shirat, sifatnya, dan kepastian dalam menyeberanginya ialah sebagai berikut:
Abu Hurairah Raḍiallāhu ‘Anhu meriwayatkan dalam sebuah hadits yang Panjang bahwa Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
“Dan shirat dibentangkan di atas neraka Jahannam, lalu aku dan umatkulah yang pertama-tama melintasinya. Hari itu yang bisa berbicara hanyalah para Rasul. Dan doa para Rasul hari itu hanyalah, ‘Ya Allah, selamatkanlah, selamatkan.’ Sementara di dalam neraka Jahanan terdapat pengait-pengait seperti duri pohon Sa’dan. Apa kalian pernah melihat pohon Sa’dan? Tanya beliau. ‘Ya, wahai Rasulullah,’ jawab para sahabat. Pengait-pengait itu seperti duri pohon Sa’dan, bedanya ukuran besarnya hanya Allah yang tahu. Ia merenggut manusia sesuai amalnya. Di antara mereka seorang mukmin yang selamat tidak direnggut karena amalnya. Dan ada juga orang yang dihukum di dalamnya kemudian diselamatkan (diangkat)…” (HR. Bukhari Muslim)
Hadits tersebut di atas menjadi dalil adanya shirath dan ciri-cirinya, serta betapa ngerinya suasana di padang Mahsyar. Dan amalan adalah sarana agar seseorang dapat melintasi shirath dan selamat. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا (72)
Artinya:
“Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang zalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut.” (QS. Maryam: 72)
Artinya, Allah menyelamatkan mereka setelah memasukinya, dan membiarkan orang-orang zalim berlutut di dalam neraka hingga tidak dapat melaluinya.
Perlu diperhatikan dari perkara-perkata hari Akhir yang telah disebutkan sebelumnya bahwa hakikat perkara-perkara tersebut adalah samar dan tidak masuk akal. Karena memang kesemuanya tidak ada contoh dalam realita dan dapat disaksikan dari berbagai sisi.
Karenanya, seorang Muslim tidak boleh terlalu dalam berbicara mengenai perkara-perkara tersebut berikut bentuknya, dan menyerahkan pengetahuan tentangnya hanya kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā.
Dikutip dari: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid Kitabut Tauhid lis-Shaff Al-Awwal – Ats-Tsalis – Al-Aly. Edisi terjemah: Alih Bahasa Syahirul Alim Al-Adib, Lc., Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2018), 273-275.
Thumbnail Source: Photo by Kaique Pexels
Artikel Terkait:
Al-Mizan