Menurut ulama-ulama yang mengharamkan pajak bahwa kewajiban membayar pajak termasuk mengambil harta dengan cara batil yang terlarang sebagaimana dalam QS. Al-Nisā’ ayat 29 yang menyatakan janganlah kalian memakan harta dengan cara batil. Menurut mereka juga bahwa pajak termasuk kategori mengambil harta tanpa hak dari harta seorang muslim yang terlindungi.
Sebab kewajiban harta yang dibebankan atas seorang muslim adalah zakat. Penetapan wajib pajak berarti menambahkan kewajiban atas harta terhadap seorang muslim. Sehingga mereka mengkategorikan pajak sama seperti maks yang terancam dengan tidak masuk Surga sebagaimana dalam hadis dan termasuk dosa besar yang pelakunya harus bertaubat.
Para ulama yang berpandangan bolehnya pajak telah menjawab argumentasi ulama-ulama yang mengharamkan pajak. Inti jawaban atas argumentasi pengharaman pajak adalah bahwa pajak bukanlah maks yang dicela dalam beberapa riwayat. Sebab pajak ditarik dengan cara benar dan dialokasikan dengan cara benar pula, yaitu untuk kemaslahatan umum dan pembangunan bangsa. Sedangkan yang dimaksud dengan maks dalam hadis adalah harta yang diambil secara zalim dan dialokasikan dengan cara zalim pula.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Bantahan Mengenai Haramnya Pajak, Source: Photo by Movoyagee Pexels
Yūsuf al-Qarḍāwī meluruskan makna yang tepat dari kata maks adalah pajak-pajak yang kejam yang pernah terjadi di awal perkembangan Islam, dipungut tanpa hak, dan dialokasikan tidak dengan cara adil. Pajak ini juga bukan digunakan untuk kepentingan rakyat, tapi digunakan untuk kepentingan penguasa dan pengikutnya. Maks juga dibebankan bukan atas dasar kemampuan.[1]
==========
[1] Yusuf Qardawi, Hukum Zakat, (Jakarta: Litera AntarNusa, 2011), 1092-1095.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 68-68.
Thumbnail Source: Photo by Fuzail Pexels
Artikel Terkait:
Fatwa Tentang Pajak