Iman kepada qadha’ dan qadar Allah adalah rukun iman yang keenam, sebagaimana jawaban Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam saat Jibril bertanya kepada beliau tentang iman. Beliau bersabda, “Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, beriman kepada hari Akhir, serta takdir-Nya yang baik maupun yang buruk.
Makna iman kepada takdir ialah percaya penuh bahwa segala kejadian, yang baik dan yang buruk adalah sesuai dengan qadha’ dan qadar Allah.
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ (22) لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ (23)
Artinya:
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan tidak pula pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis di dalam Kitab Lauhul Mahfuzh sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. Kami jelaskan demikian itu supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid: 22-23)
Ayat tersebut menjelaskan bahwa segala yang terjadi di ufuk timur dan barat, serta yang menimpa seluruh manusia, yang baik maupun yang buruk, adalah telah ditentukan oleh Allah dan telah tertulis di dalam Lauhul Mahfuzh sebelum seluruh makhluk diciptakan. Sehingga, luputnya sesuatu yang dicintai tidak membuat seseorang bersedih. Pun demikian bila berhasil didapatkannya, tidak membuatnya bersenang.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Beriman Kepada Qadha’ dan Qadar, Source: Photo by M Thaha Pexels
Zaid bin Tsabit meriwayatkan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda yang Artinya:
“Sekiranya Allah berkehandak mengazab seluruh penghuni langit dan bumi, sungguh Dia akan mengazab mereka semua tanpa berbuat zalim kepada mereka. Dan sekiranya Dia merahmati mereka, maka sungguh rahmat-Nya lebih baik daripada seluruh amalan mereka. Sekiranya kamu memiliki emas sebesar gunung Uhud, atau seperti gunung Uhud, lalu kamu menginfakkannya di jalan Allah, sungguh Dia tidak akan menerimanya darimu hingga kamu beriman dengan takdir dan mengetahui bahwa segala yang menimpamu tidak mungkin akan meleset darimu, dan segala yang meleset darimu tidaklah mungkin akan mengenaimu. Bika kamu meninggal tidak dalam kondisi seperti ini, kau pasti akan masuk neraka.” (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)
Segala yang telah ditakdirkan oleh Allah pasti mengandung paling tidak sebuah hikmah yang hanya diketahui oleh Allah. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā tidak akan menciptakan keburukan murni yang tidak membuahkan satu kemaslahatan. Keburukan yang murni tidak dinisbatkan kepada-Nya. Akan tetapi, ia termasuk dalam makhluk Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā secara umum.
Apabila segala sesuatu disandarkan kepada Allah, maka ia adalah keadilan, hikmah, dan rahmat. Keburukan murni sama sekali tidak masuk dalam sifat-sifat dan perbuatan-Nya. Dia lah pemilik kesempurnaan mutlak. Sebagaimana firman Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā:
مَا أَصَابَكَ مِنْ حَسَنَةٍ فَمِنَ اللَّهِ وَمَا أَصَابَكَ مِنْ سَيِّئَةٍ فَمِنْ نَفْسِكَ
Artinya:
“Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu maka dari kesalahan dirimu sendiri.” (QS. An-Nisa: 79)
Hal ini menunjukkan bahwa segala kebaikan dna kenikmatan yang diterima manusia, semua berasal dari Allah. Dan segala keburukan yang menimpanya disebabkan karena dosa-dosa dan kemaksiatannya. Tidak seorangpun yang bisa berlari dari takdir yang telah ditetapkan untuknya.
Sebab, Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā adalah pencipta seluruh hamba. Tiada yang terjadi di dalam kekuasaan-Nya selain yang diinginkan-Nya. Dan Dia tidak meridhai kekufuran untuk hamba-Nya.
Dia telah mengaruniai mereka kemampuan dan ikhtiar sehingga perbuatan mereka terjadi karena kemampuan dan iradah atau keinginan mereka. Dengan rahmat-Nya Dia memberi hidayah kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan dengan kebijakan-Nya Dia menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya.
Dia tidak ditanyai mengenai apa yang diperbuat-Nya sedang mereka pasti akan ditanyai.
Dikutip dari: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid Kitabut Tauhid lis-Shaff Al-Awwal – Ats-Tsalis – Al-Aly. Edisi terjemah: Alih Bahasa Syahirul Alim Al-Adib, Lc., Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2018), 286-289.
Thumbnail Source: Photo by Sitheeque Pexels
Artikel Terkait:
Syafaat