Cairan kuning dan keruh adalah cairan yang terlihat seperti nanah dan didominasi warna kekuning-kuningan. Jika cairan ini keluar dari kemaluan wanita setelah berhenti atau mengeringnya darah, maka cairan tersebut bukanlah darah haidh dan wanita tersebut sudah suci dan boleh mengerjakan shalat, puasa, serta berhubungan badan dengan suaminya.
Hal ini berdasarkan hadits Ummu ‘Athiyyah Raḍiallāhu ‘Anhā, ia berkata:
“Kami tidak menganggap cairan kuning dan keruh setelah suci sebagai haidh.” (HR. Abu Daud)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Cairan Kuning setelah Haid, Source: Photo by Jovana Pexels
Catatan:
Apabila seorang wanita telah suci, namun tidak menemukan ait untuk mandi, maka ia boleh bertayammum, dan suaminya boleh bercampur dengannya menurut pendapat sebagian besar para ulama.
Jika seorang wanita mengeluarkan darah lebih lama dari waktu biasanya, apa yang harus dilakukan? Sebagai contoh, seorang wanita biasa menjalani masa haidh selama 6 hari setiap bulan, namun suatu saat ia menjalaninya selama 7, 8, atau hingga 10 hari. Apa yang harus dilakukan oleh wanita tersebut?
Kami katakan bahwa wanita tersebut tidak terlepas dari dua keadaan:
Jika seorang wanita memiliki siklus haidh bulanan hanya keluar misalnya dua hari berturut-turut, berhenti pada hari ketiga, dan keluar lagi pada hari keempat, dan demikian seterusnya, maka pendapat yang benar bahwa hari ketiga tetap dihitung sebagai masa haidh karena ia belum selesai. Untuk menentukan apakah masa haidnya sudah selesai adalah dengan melihat tanda-tanda yang mengikuti sucinya seorang wanita dari haidh, di antaranya adalah keluarnya cairan berwarna putih.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Cairan Kuning setelah Haid, Source: Photo by Lalesh Pexels
Apakah wanita yang sedang hamil bisa haidh? Dalam masalah ini ada dua pendapat ulama yaitu:
Kebanyakan ulama berpendapat bahwa wanita hamil tidak akan mengalami haidh. Mereka berdalil dengan hadits yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khudri Raḍiallāhu ‘Anhu:
“Hendaknya wanita yang hamil tidak dicampuri oleh suaminya yang baru hingga ia melahirkan, demikian juga dengan wanita yang tidak hamil hingga ia menjalani satu kali haidh.” (HR. Abu Daud)
Mereka berkata, “Sesungguhnya salah satu tanda bersihnya rahim perempuan atau tidak hamil adalah keluarnya darah haidh. Jika wanita yang hamil mengeluarkan darah haidh, berarti bersihnya rahim tidak dapat dibuktikan dengan haidh.
Pendapat sebagian ulama, di antaranya Imam Asy-Syafi’i, ia berpendapat bahwa wanita hamil bisa mengalami haidh.
Pendapat yang benar menurut kaidah umum yang berlaku adalah bahwa wanita hamil tidak akan mengalami haidh, tetapi terkadang ada pula wanita hamil yang mengeluarkan darah. Yang harus dia lakukan adalah melihat warna darah tersebut, jika warna, bau, dan bentuknya mirirp dengan darah haidh dan waktu keluarnya sesuai dengan kebiasaannya, maka darah tersebut dianggap sebagai darah haidh.
Ia tidak boleh shalat, puasa dan tidak bercampur dengan suami. Akan tetapi haidh semacam ini tidak bisa dijadikan landasan dalam permasalahan ‘iddah, karena Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ
Artinya:
“Dan para wanita yang sedang mengandung, maka masa iddah mereka sampai mereka melahirkan kandungan mereka.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Sedangkan apabila darah yang keluar berbeda dengan bentuk darah haidh dan tidak pada waktunya, maka darah tersebut tidak dianggap darah haidh, dan larangan-larangan untuk wanita haidh tidak berlaku, sama dengan wanita yang mengeluarkan darah istihadhah.
Dikutip dari: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ Wama Yajibu an Ta’rifahu Kullu Muslimatin min Ahkam. Edisi terjemah: Alih Bahasa M. Taqdir Arsyad, Fikih Sunnah Wanita Panduan Lengkap Wanita Muslimah, (Bogor: Griya Ilmu, 2019), 057-061.
Thumbnail Source: Photo by Pexels
Artikel Terkait:
Darah Haidh