Ulama-ulama yang membolehkan penarikan pajak sebagai alternatif sumber penerimaan negara menegaskan bahwa pajak ditetapkan atas dasar kondisi keuangan negara yang darurat. Sehingga dalil-dalil yang digunakan oleh mereka adalah kaidah-kaidah fikih yang menyatakan “Menolak mafsadat lebih utama daripada mengambil manfaat” dan kaidah “Kemudaratan harus dihilangkan” dan kaidah “Kemudaratan membolehkan perkara-perkara yang terlarang” dan kaidah “Keadaan darurat itu ditentukan sesuai dengan kadarnya”.
Berdasarkan kaidah-kaidah ini, maka jika kondisi keuangan negara tidak memiliki pemasukan dan mempunyai alternatif lain selain pajak, maka pajak dapat dijadikan sebagai solusi sesuai dengan kadar yang dibutuhkan serta dialokasikan sesuai dengan tuntunan syariat. Dalil lain yang digunakan oleh ulama yang membolehkan pajak adalah ayat-ayat Alquran dan hadis, di antaranya adalah sebagai berikut:
لَيْسَ الْبِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ قِبَلَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ وَآتَى الْمَالَ عَلَى حُبِّهِ ذَوِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينَ وَابْنَ السَّبِيلِ وَالسَّائِلِينَ وَفِي الرِّقَابِ وَأَقَامَ الصَّلَاةَ وَآتَى الزَّكَاةَ وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا وَالصَّابِرِينَ فِي الْبَأْسَاءِ وَالضَّرَّاءِ وَحِينَ الْبَأْسِ أُولَئِكَ الَّذِينَ صَدَقُوا وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُتَّقُونَ
“Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat, tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menempati jani apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan pada masa peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa.” (QS. Al-Baqarah [2]: 177)[1]
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ إِنْ كُنْتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلًا
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul Muhammad, dan Ulul Amri di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah (Alquran) dan Rasul (Sunnahnya) jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama bagi kalian dan lebih baik akibatnya.” (QS. Al-Nisā’ [4]: 59)[2]
وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلَا تَعَاوَنُوا عَلَى الْإِثْمِ وَالْعُدْوَانِ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan tolong menolanglah kamu dalam mengerjakan kebajikan dan takwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan. Bertakwalah kepada Allah, sungguh Allah sangat berat siksa-Nya.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 2)[3]
قال الترمذي: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ مَدُّوَيْهِ، قَالَ: حَدَّثَنَا الأَسْوَدُ بْنُ عَامِرٍ، عَنْ شَرِيكٍ، عَنْ أَبِي حَمْزَةَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ، قَالَتْ: سَأَلْتُ، أَوْ سُئِلَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الزَّكَاةِ ؟ فَقَالَ: إِنَّ فِي الْمَالِ لَحَقًّا سِوَى الزَّكَاةِ، ثُمَّ تَلاَ هَذِهِ الآيَةَ الَّتِي فِي البَقَرَةِ: {لَيْسَ البِرَّ أَنْ تُوَلُّوا وُجُوهَكُمْ} الآيَةَ.[4]
Al-Tirmidhī berkata bahwa telah menceritakan kepada kami Muhammad ibn ’Aḥmad ibn Maddawaih, ia berkata bahwa telah menceritakan kepada kami al-’Aswad ibn ‘Āmir, yang dia riwayatkan dari Sharīq, dari ’Abū Ḥamzah, dari al-Sha’bī, dari Fāṭimah binti Qais yang mengatakan bahwa saya bertanya kepada Rasulullah S.A.W. tentang zakat, maka beliau pun bersabda, “Sesungguhnya di dalam harta itu ada kewajiban lain selain zakat.” Lalu beliau membacakan ayat dalam surat al-Baqarah (Kebajikan itu bukanlah menghadapkan wajahmu). (HR. al-Tirmidhī)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Dalil Pembolehan Pajak, Source: Photo by Alena Pexels
Dalam Alquran surat al-Baqarah ayat 177 dikatakan bahwa di antara bentuk kebajikan adalah memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya. Ulama yang membolehkan pajak mangatakan bahwa pajak dapat dikategorikan sebagai pemberian harta yang dicintai di luar harta zakat. Bahkan, diperkuat dengan hadis riwayat Imam al-Tirmidzi yang mengatakan bahwa di dalam harta itu ada kewajiban lain selain zakat. Berkaiatn dengan ayat tersebut, al-Qurṭubī menjelaskan bahwa para ulama sepakat seandainya umat Islam memiliki kebutuhan dan keperluan yang harus ditenggulangi, maka wajib hukumnya mengeluarkan harta untuk kebutuhan tersebut sekalipun sudah menunaikan zakat. Kemudian al-Qurṭubī memperkuat argumentasinya dengan menukil hadis sesungguhnya dalam harta ada kewajiban lain di luar zakat.[5]
Pemahaman para ulama yang membolehkan pajak berdasarkan QS. Al-Nisā’ ayat 59 adalah ayat tersebut memerintahkan orang-orang beriman untuk menaati pemimpin selama pemimpin memerintahkan pada kebaikan, kataatan, dan kemaslahatan. Ketika pajak yang ditetapkan oleh para pemimpin itu benar-benar untuk kemaslahatan bersama dan tidak digunakan untuk hal-hal yang bertentangan dengan nilai-nilai Islsm, maka wajib hukumnya untuk menaati kebijakan pemimpin. Berbeda halnya jika harta pajak yang dikumpulkan untuk digunakan pada hal-hal yang dilarang dalam agama Islam, maka tidak ada alasan menaati perintah pemimpin. Sebab ketaatan kepada pemimpin selama perintah pemimpin tersebut sesuai dengan ketetapan Allah S.W.T. dan Rasul-Nya. Adapun pemahaman para ulama yang membolehkan pajak berdasarkan QS. Al-Mā’idah ayat 2 adalah karena pajak dianggap sebagai bentuk soliditas sosial dan tolong-menolong dalam mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bersama.
==========
[1] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Alquran, Mushaf Alquran Terjemah, (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema Insani, 2005), 28.
[2] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Alquran, Mushaf Alquran Terjemah, (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema Insani, 2005), 88.
[3] Yayasan Penyelenggara Penerjemah Alquran, Mushaf Alquran Terjemah, (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema Insani, 2005), 107.
[4] Muhammad ibn ‘Īsa al-Tirmidhī, Jāmi’ al-Tirmidhī, (Riyāḍ: Dār al-Salām Wa Wizārah al-Shu’ūn al-Islāmiyyah Wa al-’Awqāf Wa al-Da’wah Wa al-Irshād, 2000), No.660, 169.
Dalam redaksi yang lain dikatakan bahwa tidak ada hak atas harta kecuali zakat. Hadis yang menyatakan demikian diriwayatkan oleh Ibnu Mājah sebagai berikut:
حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُحَمَّدٍ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ آدَمَ عَنْ شَرِيكٍ عَنْ أَبِي حَمْزَةَ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ فَاطِمَةَ بِنْتِ قَيْسٍ أَنْهَا سَمِعَتْهُ تَعْنِي النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَيْسَ فِي الْمَالِ حَقٌّ سِوَى الزَّكَاةِ
Telah menceritakan kepada kami ‘Alī ibn Muhammad, ia mengatakan bahwa telah menceritakan kepada kami Yaḥya ibn Ādam, yang dia riwayatkan dari Sharīk, dari ’Abū Ḥamzah, dari al-Sha’bī, dari Fāṭimah binti Qais, bahwa ia mendengar Nabi S.A.W. bersabda, “Tidak ada hak atas harta kecuali zakat.”
Hadis ini dinilai ḍa’īf munkar oleh Muhammad Nāṣiruddīn al-Albāny sebagaimana dalam kitab Ṣahīh Wa Dha’īf Sunan Ibn Mājah nomor 1789 dan disebutkan pula dalam Silsilah al-Ahādīth al-Ḍa’īfah Wa al-Maudhū’ah Wa Athāruha Fī al-Umah. Al-Bānī juga menilai dha’if hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidhī sebagaimana dalam Silsilah al-Ahādīth al-Dha’īfah Wa al-Maudhū’ah nomor 4383.
[5] Muhammad ibn ’Aḥmad al-Qurṭubī, al-Jāmi’ Li’aḥkām al-Qurān, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1988), 2, 162.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 61-64.
Thumbnail Source: Photo by Alena Pexels
Artikel Terkait:
Dasar Pembolehan Pajak