Haidh merupakan tanda yang menunjukkan bahwa seorang wanita dalam keadaan sehat bukan penyakit. Bahkan merupakan suatu kenikmatan dari Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā yang padanya terkait hukum masa iddah dan makanan bagi janin.
Oleh karena itu seorang wanita yang tidak mengeluarkan darah haidh, dia tidak akan dapat melahirkan. Apabila janin telah tercipta di dalam rahim, maka darah haidh itu akan terhenti dan berubah menjadi asupan makanan baginya. Dan apabila bayi telah lahir, maka darah haidh itu berubah menjadi susu yang akan menjadi makanan untuknya dari kedua putting ibunya.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Darah Haidh dan Istihadhah, Source: Photo by Tyler Pexels
Darah istihadhah tidak sama dengan darah haidh, baik secara makna maupun secara hukum. Oleh karena itu Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam membedakan antara keduanya.
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ أَبِي حُبَيْشٍ سَأَلَتْ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَتْ إِنِّي أُسْتَحَاضُ فَلَا أَطْهُرُ أَفَأَدَعُ الصَّلَاةَ فَقَالَ لَا إِنَّ ذَلِكِ عِرْقٌ وَلَكِنْ دَعِي الصَّلَاةَ قَدْرَ الْأَيَّامِ الَّتِي كُنْتِ تَحِيضِينَ فِيهَا ثُمَّ اغْتَسِلِي وَصَلِّي
Artinya:
“Dari Aisyah Raḍiallāhu ‘Anhā, bahwasannya Fatimah binti Abu Hibaisy bertanya kepada Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam seraya berkata, ‘Sesungguhnya aku ini terkena istihadah sehinga aku tidak suci. Apakah aku harus meninggalkan shalat?’ Beliau Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam menjawab, ‘Tidak. Sesungguhnya itu adalah urat (darah yan keluar dari ujung rahim). Akan tetapi, tinggalkanlah shalat sebatas hari-hari yang dahulu kamu biasa haidh, lalu mandilah dan laksanakan shalat’.” (HR. Bukhari)
Berdasarkan hadits di atas dijelaskan bahwa apabila seorang wanita telah memiliki adat kebiasaan dalam haidhnya, lalu ada darah yang datang mengiringinya, sedang dia tidak dapat membedakan antara darah haidh dan istihadah, maka dia harus meninggalkan berbagai ibadah sebatas hari-hari kebiasaan haidhnya, lalu dia mandi apabila perkiraan kebiasaan waktu haidh sudah habis dan kembali melaksanakan shalat meskipun darah itu masih terus mengalir.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Darah Haidh dan Istihadhah, Source: Photo by Pixabay Pexels
Para ulama berselisih pendapat berkenaan dengan seorang wanita yang memiliki adat kebiasaan dalam haidhnya, dan dia mampu membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Manakah yang dia gunakan untuk memasikan kondisinya?
Pendapat yang masyhur dari madzhab Ahmad Raḥimahullāh bahwa dia menggunakan hari-hari kebiasaannya dalam haidh.
Riwayat kedua bahwa dia menggunakan kemampuannya dalam membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah. Itulah pendapat yang benar, dan nampaknya inilah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Raḥimahullāh.
Adapun jika seorang wanita tidak memiliki adat kebiasaan dalam haidhnya, juga tidak memiliki kemampuan untuk membedakan antara darah haidh dan darah istihadhah, maka dia harus melihat kepada adat kebiasaan kaum wanita dari kalangan karib kerabatnya, seperti: ibunya, saudari-saudarinya, dan nenek-neneknya. Lalu dia boleh menggunakan adat kebiasaan mereka dalam haidh. Kasus yang semisalnya adalah wanita pemula dalam haidh.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Darah Haidh dan Istihadhah, Source: Photo by Lalesh Pexels
Pendapat yang shahih bahwa haidh tidak dibatasi oleh usia, baik pada permulaan haidh maupun pada masa akhirnya (mendekati usia menopause), tidak sembulan tahun, tidak lima puluh tahun, juga tidak yang lainnya. Juga tidak ada batasan untuk jumlah minimal haidh, tidak sehari semalam, tidak kurang dari itu, juga tidak lebih dari itu.
Juga tidak ada batasan untuk jumlah maksimalnya, tidak lima belas hari, tidak kurang dari itu, dan tidak juga lebih dari itu. Sehingga, kapan pun seorang wanita melihat darah haidh, maka dia harus meninggalkan beberapa jenis ibadah.
Lalu apabila darah haidh itu terhenti darinya, maka dia harus segera mandi dan kembali beribadah selama tidak ada darah istihadhah. Itu adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Raḥimahullāh, dan itulah pendapat yang ditunjukkan oleh nash-nash.
Hadits di atas juga menjelaskan bahwa darah adalah najis, dan wajibnya menghilangkan najis. Sebab, itu termasuk di antara syarat-syarat sah shalat.
Dikutip dari: Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Syarah Umdatul Ahkaam. Edisi terjemah: Alih Bahasa Suharlan, Lc., dan Suratman, Lc., Syarah Umatul Ahkam, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2017), 079-082.
Thumbnail Source: Photo by Artem Pexels
Artikel Terkait:
Hukum-hukum Wanita Istihadhah