Aspek kebutuhan merupakan dasar alasan sebagian ulama yang membolehkan pajak dijadikan sebagai sumber pendapatan negara. Pandangan seperti ini juga sebenarnya telah disampaikan oleh ulama-ulama klasik yang memperbolehkan pungutan tambahan oleh negara atas rakyatnya manakala betul-betul membutuhkan. Dalam kitab fikih mazhab Hanafi Hāshiah Ibn ‘Ābidīn diterangkan bahwa setiap yang ditetapkan oleh pemimpin atas rakyatnya demi kemaslahatan bagi mereka, maka itu menjadi wajib yang harus ditunaikan sebagaimana halnya kharāj.
Rakyat tidak boleh enggan menunaikannya dan menjadi hutang. Kewajiban ini tatkala kas negara sama sekali tidak memiliki harta. Adapun jika ada maka penetapkan membayar pajak ini hukumnya makruh.[1] Al-Shātibī juga menjelaskan sebagaimana dalam kitab al-I’tiṣām bahwa ketika pemimpin membutuhkan biaya untuk memperkuat tentara dan pertahanan negara sedangkan kas keuangan negara tidak memiliki harta untuk membiayai itu semua, maka hendaknya sang pemimpin membebankan tanggung jawab keuangan tersebut kepada orang-orang kaya sejumlah yang dibutuhkan.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Dasar Pembolehan Pajak, Source: Photo by Keith Pexels
Al-Shātibī mensyaratkan dibolehkannya pungutan tambahan ini adalah dengan adilnya seorang pemimpin dan harta tersebut dialokasikan dengan benar.[2] Penjelaskan dua ulama klasik ini menekankan aspek kebutuhan negara pada saat kas keuangan negara kosong serta sifat pemimpin yang adil sebagai dasar diperbolehkannya pajak dibebankan kepada mereka yang mampu.
Ulama-ulama yang membolehkan penarikan pajak sebagai alternatif sumber penerimaan negara menegaskan bahwa pajak ditetapkan atas dasar kondisi keuangan negara yang darurat. Sehingga dalil-dalil yang digunakan oleh mereka adalah kaidah-kaidah fikih yang menyatakan “Menolak mafsadat lebih utama daripada mengambil manfaat” dan kaidah “Kemudaratan harus dihilangkan” dan kaidah “Kemudaratan membolehkan perkara-perkara yang terlarang” dan kaidah “Keadaan darurat itu ditentukan sesuai dengan kadarnya”.
Berdasarkan kaidah-kaidah ini, maka jika kondisi keuangan negara tidak memiliki pemasukan dan mempunyai alternatif lain selain pajak, maka pajak dapat dijadikan sebagai solusi sesuai dengan kadar yang dibutuhkan serta dialokasikan sesuai dengan tuntunan syariat.
==========
[1] Muhammad ’Amīn ibn ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz ‘Ābidīn, Radd al-Mukhtār ‘Ala al-Dār al-Mukhtār, (Riyādh: Dār ‘Ālim al-Kutub, 2003), 3.
[2] ’Abū Ishāq Ibrāhīm ibn Mūsa al-Shātibī, al-I’tiṣām, (Mesir: Maktabah al-Ijāriyah al-Kubra, 2011), 2, 121-123.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 60-61.
Thumbnail Source: Photo by ZF Pexels
Artikel Terkait:
Sumber Keuangan Publik