Emotional spending adalah perilaku ketika seseorang membeli sesuatu yang sebenarnya tidak dibutuhkan. Aktivitas ini terjadi karena dipengaruhi oleh gejolak emosi, entah itu karena perasaan bosan, jenuh, sedih, tertekan, atau merasa tidak bahagia.
Emotional spending dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan suasana hati ke arah yang lebih baik dan lebih positif. Namun, kebanyakan orang justru tidak mau mengaku atau tidak menyadari bahwa dirinya memiliki sisi atau kebiasaan sebagai emotional spender.
Emotional spending atau yang dalam bahasa Indonesia berarti pengeluaran emosi, biasanya terjadi ketika pelakunya dalam keadaan subconscious atau tidak sadar. Artinya, mayoritas transaksi yang terjadi di luar sana disebabkan karena dipengaruhi oleh suasana hati dan emosi.
Menurut Lisa Duke, seorang financial conselor terkenal di Amerika Serikat, emotional spending ditandai dengan adanya tagihan kartu kredit, pakaian yang tidak digunakan bahkan price tag-nya masih menempel, barang-barang ditelantarkan, bahkan paket yang diterima disembunyikan karena tidak ingin ketahuan orang-orang di rumah.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Emotional Spending, Source: Photo by Negative Space Pexels
Selain itu, emotional spending juga diperlihatkan ketika perasaan menyesal muncul setelah seseorang belanja, karena menyadari telah menghambur-hamburkan uang. Oleh karena itu, kita semua perlu berhati-hati ketika pengeluaran telah berada diambang batas maksimal, apalagi sampai bergantung kepada kartu kredit hanya untuk memenuhi keinginan sehari-hari dan menghalangi kamu dari menabung.
Membelanjakan uang untuk kebutuhan pribadi sejatinya memang memberikan kebahagiaan tersendiri bagi kehidupan seseorang. Maka tidak heran apabila belanja tau shoping juga sering disebut sebagai retail therapy, karena memiliki kemampuan untuk merubah mood seseorang menjadi lebih baik ketika sedang stress.
Meski demikian, apabila kegiatan ini dilakukan terlalu sering yang terjadi bukanlah memberikan kebahagiaan, namun justru memicu stress karena kondisi kantong yang semakin kering akibat terlalu sering belanja. Oleh karena itu, perlu kiranya kita untuk mengontrol aktivitas emotional spending ini.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Emotional Spending, Source: Photo by Karolina Pexels
Berikut kami paparkan beberapa cara untuk mengontrol emotional spending:
Apabila seseorang telah mulai main-main ke e-commerce dan mulai melihat produk-produk untuk dijadikan wishlist belanjaan karena sedang bosen, sedih, gabut atau perasaan yang lainnya, cobalah untuk menerapkan 48 hours rule spending emotional.
Bagaimana cara menerapkannya?
Caranya yaitu dengan menuliskan barang-barang yang sudah masuk ke chart ke dalam sebuah catatan di gadget, dan sertakan harga dari masing-masing produk tersebut. Kemudian, tunggu 48 jam sebelum checkout untuk menganalisa, menanyakan pada diri sendiri, apakan produk tersebut benar-benar dibutuhkan, atau hanya lapar mata dan bukan kebutuhan.
Nah dalam kurun waktu 48 jam ini, dipercaya dapat membantu seseorang unyuk berpikir ulang dalam mengambil keputusan yang lebih objektif sebelum mengeluarkan uang.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Emotional Spending, Source: Photo by Pixabay Pexels
Jauhi dan batasi diri dari paparan iklan secara sengaja. Semakin sedikit seseorang mengetahui apa saja yang bisa kamu beli, maka semakin kecil pula potensi terjadinya emotional spending yang kamu lakukan.
Mulailah untuk berhenti mengikuti atau membuka katalog suatu produk. Dan jika memang hal itu tidak bisa terkontrol maka mulailah berhenti dan mengurangi penggunaan gadget, baik itu sosial media, atau hal lainnya yang berpotensi mendorong terjadinya emotional spending.
Apabila aktifitas belanja sudah dianggap sebagai kegiatan untuk refreshing, distraction, atau coping mechanism, cobalah dari sekarang untuk mencari kegiatan lain yang juga dapat memberikan efek serupa. Misalnya dengan melakuka aktifitas olahraga di taman, jalan pagi, lari pagi, memancing, berenang, menonton, pergi ke pantai, atau aktifitas-aktifitas lain yang lebih produktif.
Thumbnail Source: Photo by Karolina Pexels
Artikel Terkait:
Dampak Negatif Cahsless Society