Hukum i’tikaf adalah sunah. Syaratnya ada dua: (1). Niat, dan (2). Berdiam diri di masjid. Orang yang mengerjakan i’tikaf karena nazar tidak boleh keluar masjid kecuali jika ada kebutuhan atau uzur, seperti haidh atau sakit yang tidak memungkinkannya berdiam diri di dalam masjid. I’tikaf batal dengan jimak.
Penjelasan:
(1). Bukhari (1922) dan Muslim (1172) meriwayatkan dari Aisyah Raḍiallāhu ‘Anhā bahwa:
أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِه
“Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam melakukan i’tikaf pada sepuluh malam terakhir di bulan Ramadan sampai Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā mewafatkannya. Kemudian istri-istrinya juga melakukan i’tikaf sepeninggal beliau.”
Bukhari (1936) meriwayatkan dengan redaksi yang panjang dari Aisyah, dia berkata bahwa Nabi melakukan i’tikaf pada sepuluh terakhir bulan Ramadan. I’tikaf secara bahasa adalah berdiam diri di suatu tempat.
(2). Bukhari (1925) dan Muslim (297) meriwayatkan dari Aisyah Raḍiallāhu ‘Anhā, dia berkata:
إِنْ كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لَيُدْخِلُ عَلَيَّ رَأْسَهُ وَهْوَ فِي الْمَسْجِدِ فَأُرَجِّلُهُ ، وَكَانَ لاَ يَدْخُلُ الْبَيْتَ إِلاَّ لِحَاجَةٍ إِذَا كَانَ مُعْتَكِفًا
“Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam memasukkan kepalanya ke dalam kamarku padahal beliau di dalam masjid. Lalu saya menyisirkannya. Beliau tidak masuk ke dalam rumah kecuali untuk kebutuhan jika sedang mengerjakan i’tikaf”.
(3). I’tikaf batal dengan jimak. Dasarnya adalah firman Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā:
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ
“Janganlah kalian campuri mereka itu, sedangkan kalian sedang beri’tikaf dalam masjid.” (Al-Baqarah [2]:187)
Maksudnya, janganlah menyetubuhi istri kalian ketika sedang mengerjakan i’tikaf.
Dikutip dari: Muṣthafā Dīb al-Bughā, al-Tadhhīb Fi Adillahti al-Ghāyah Wa al-Taqrīb, (Beirūt: Dār Ibn Kathīr, 1989), 109.
#Abu Shuja' #Fikih Puasa #i'tikaf #Mazhab Syafii #Puasa Ramadan #Puasa