Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Hukum Harta Fay’

Bina-Qurani-Hukum-Harta-Fay'

Pada bulan Rabi’ul Awal tahun 4 hijriah yang bertepatan dengan bulan Agustus 625 masehi diturunkan surat al-Ḥashr yang menjelaskan tentang harta fay’ berkaitan dengan kaum Banī Nadhīr yang ditaklukan tanpa melakukan peperangan. Semua harta benda dan tempat tinggal Banī Nadhīr menjadi milik Rasulullah S.A.W. dan beliau membagikannya kepada siapapun yang dikehendakinya.[1]

Di antara ayat yang menguraikan tentang harta fay’ tersebut adalah firman Allah S.W.T. berfirman dalam Alquran surat al-Ḥashr ayat 7:

مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَى رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَى فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ

Artinya:

“Harta rampasan fai yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (yang berasal) dari penduduk beberapa negeri, adalah untuk Allah, Rasul, Kerabat (Rasul), anak-anak yatim, orang-orang miskin, dan untuk orang-orang yang dalam perjalanan, agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kalian. Apa yang diberikan Rasul kepada kalian maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagi kalian maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Q.S. al-Ḥashr [59]: 7)[2]

Ibnu Kathīr menerangkan bahwa ayat ini menjelaskan tentang hukum harta fay’, yaitu semua yang dirampas dari orang-orang kafir tanpa melakukan peperangan terlebih dahulu dan tanpa melarikan kuda dan unta. Berarti tidak ada peperangan. Baik duel satu lawan satu maupun saling menyergap. Hal ini bisa terjadi atas pertolongan Allah S.W.T. karena musuh-musuh Islam ditimpa rasa takut sebelum berhadapan dengan kaum muslimin. Hal ini pernah terjadi pada Banī Nadhīr di masa Rasulullah S.A.W..[3]

Bina-Qurani-Hukum-Harta-Fay'

Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Hukum Harta Fay’, Source: Photo by Zlatakycz Pexels

’Abū Yūsuf berpendapat bahwa kharāj adalah sama dengan fay’. Dalil yang digunakan adalah QS. al-Ḥashr ayat 6 sampai 10. Kemudian menguatkannya dengan kisah Bilal r.a. yang meminta bagian harta fay’  kepada ‘Umar ibn al-Khaṭāb r.a., yaitu tanah daerah yang ditaklukan wilayah Irak dan Syam. Kemudian ‘Umar ibn al-Khaṭāb r.a. menolak permintaan tersebut dengan dalil ayat tersebut dan menyatakan bahwa orang-orang yang setelah generasi mereka ikut serta ambil bagian dari harta fay’ tersebut, sehingga jika dibagi-bagikan sekarang, maka tidak tersisa bagian untuk generasi yang datang setelahnya.[4]

Yaḥya ibn Ādam al-Quraishī menyampaikan pendapat guruya, yaitu Ḥasan ibn Ṣāleh yang mengatakan bahwa jika orang yang ditaklukan dengan jalan damai masuk agama Islam, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar jizyah dan kharāj, sedangkan tanahnya berubah statusnya menjadi tanah ‘ushūr. Adapun jika hanya mengadakan perdamaian saja, maka baginya kewajiban membayar jizyah dan membayar kharraj atas tanah mereka.[5]

Menurut al-Māwardī bahwa al-Kharāj adalah tanah yang diperoleh dari orang-orang musyrik melalui jalan damai. Tanah tersebut merupakan tanah khusus yang diberi beban kharāj.[6] al-Māwardī merinci jenis tanah kharāj ini menjadi dua bagian. Pertama, tanah yang ditinggalkan oleh pemiliknya yang dikuasai oleh umat Islam tanpa melalui peperangan. Tanah ini menjadi tanah wakaf untuk kepentingan umum kaum muslimin dan dikenai kharāj. Yaitu uang sewa yang berlaku selamanya dan tidak dibatasi oleh waktu karena terdapat kemaslahatan umum. Kewajiban kharāj atas tanah ini tidak gugur karena keislaman seseorang atau menjadi kafir dzimmi. Tanah kharāj ini pun tidak boleh diperjualbelikan karena status tanahnya adalah wakaf. Kedua, tanah yang tetap didiami oleh pemiliknya. Kepemilikan ini dicantumkan dalam kontrak perdamaian dan tanah tersebut dikenai kewajiban membayar kharāj.[7]

 

==========

[1] ‘Abd al-Salām Hārun, Tahdhīb Sīrah Ibn Hishām, (Beirūt: Mu’asasah al-Risālah, 2002), 145-147. Ṣafiyu al-Raḥmān al-Mubārakfūrī, al-Rahīq al-Makhtūm, (Madinah: Dār al-Wafā‘ dan Dār al-Bayān al-‘Arabī, 2005), 261-264. Wahbah al-Zuhailī, al-Fiqhu al-Islāmī Wa Adillatuhu, (Beirūt: Dār al-Fikr al-Mu’āshir, 1997), 6, 455.

[2] Yayasan Penyelenggara Penerjemah al-Qur’an, Mushaf al-Qur’an Terjemah, (Jakarta: al-Huda Kelompok Gema Insani, 2005), 547.

[3] ’Abū al-Fidā’ Ismā’īl ibn ‘Umar ibn Kathīr, Tafsīr al-Qurān al-‘Aẓīm, Taḥqīq Sāmī ibn Muhammad al-Salāmah, (Riyāḍ: Dār Ṭayyibah, 1999), 8, 64-67.

[4] ’Abū Yūsuf Ya’qūb ibn Ibrāhīm, Kitab al-Kharāj, (Beirūt: Dār al-Ma’rifah, 1979), 23-27.

[5] Yaḥya ibn Ādam al-Quraishī, Kitab al-Kharāj, Taḥqīq ’Aḥmad Muhammad Shākir, (Beirūt: Dār al-Ma’rifah, ), 21.

[6] ‘Alī ibn Muhammad ibn Ḥabīb al-Māwardī, al-’Aḥkām al-Sulṭāniyyah Wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, (al-Qāhirah: Sharikah al-Quds, 2014), 190.

  1. Abdul Mannan menjelaskan bahwa kharāj adalah pajak yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukan dengan kekuatan senjata. Baik pemilik tanah tersebut seorang merdeka maupun budak, baik anak kecil maupun dewasa, dan juga ia bukan seorang muslim. (M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), 250.

[7] ‘Alī ibn Muhammad ibn Ḥabīb al-Māwardī, al-’Aḥkām al-Sulṭāniyyah Wa al-Wilāyāt al-Dīniyyah, (al-Qāhirah: Sharikah al-Quds, 2014), 195-202.

Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun(Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 37-39.

Thumbnail Source: Photo by Suzy Pexels

Artikel Terkait:
Harta yang Wajib Dikeluarkan Zakatnya

TAGS
#ihlas beramal #ikhlas beramal shalih #ikhlas beramal #ikhlas dalam beramal #ikhlas dalam beribadah #ikhlas ketika shalat #ikhlas #Keuangan Islam #Keuangan Negara dalam Islam #kiat-kiat ikhlas #niat yang ikhlas #pengertian ikhlas #pentingnya ikhlas beramal #urgensi ikhlas dalam islam
© 2021 BQ Islamic Boarding School, All Rights reserved
Login