Kata junub diambil dari kata Al-Ijnaab, yaitu Al-Ib’aad (arti nya menjauhkan). Oleh karena itu seseorang yang jauh dari sesuatu dinamakan Ajnabi, dan Al-Ajaniib lawan kata Al-Aqaqriib.
Sebab penamaan orang yang berjima’ atau keluar air mani dengan junub, ada yang mengatakan, “Karena air mani nya menjauh dari tempatnya.” Ada yang mengatakan, “Karena orang yang junub jauh dari hal-hal yang biasa dia lakukan pada saat did dalam kondisi suci.” Ada juga yang mengatakan, “Karena orang junub jauh dari ruh-ruh yang baik.”
Mandi junub hukumnya wajib menurut ijma’ dan telah di tetapkan juga di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah. Bahkan, ada sebagian ulama tafsir yang berpendapat bahwa yang dimaksud dengan firman Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi.” (QS. Al-Ahzab: 72) adalah mandi junub yang merupakan amanat antara seseorang hamba dengan Rabbnya.
Akan tetapi pendapat yang shahih adalah bahwa ayat itu berlaku umum, dan mandi junub termasuk di dalamnya. Dan bagi yang berpendapat bahwa yang dimaksud amanat dalam ayat adalah mandi junub, itu hanyalah sebagai permisalan, bukan sebagai pembatasan.
Perkara-perkara yang menyebabkan wajib mandi ada lima menurut ijma’, sedangkan perkara yang keenam ada perselisihan pendapat di antara para ulama, yaitu:
Yakni, apabila orang kafir masuk islam, maka dia wajib mandi. Akan tetapi menurut pendapat yang shahih tidak wajib mandi.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Hukum Mandi Junub dan Tata Caranya, Source: Photo by Pixabay Pexels
Masing-masing dari keenam perkara tersebut akan dibahas pada babnya. Sedangkan di dalam bab ini hanya akan dibahas mandi junub dari dua perkara pertama (mandi karena keluar air mani dan jima’).
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم لَقِيَهُ فِي بَعْضِ طَرِيقِ الْمَدِينَةِ وَهْوَ جُنُبٌ فَانْخَنَسْتُ مِنْهُ فَذَهَبَ فَاغْتَسَلَ ثُمَّ جَاءَ فَقَالَ أَيْنَ كُنْتَ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ قَالَ : كُنْتُ جُنُبًا فَكَرِهْتُ أَنْ أُجَالِسَكَ وَأَنَا عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَقَالَ سُبْحَانَ اللهِ إِنَّ الْمُؤْمِنَ لاَ يَنْجُسُ.
Artinya:
“Dari Abu Hurairah Raḍiallāhu ‘Anhu, bahawasannya Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam berjumpa dengannya di suatu jalan di kota Madinah sedang dia dalam keadaan junub. Dia (Abu Hurairah) berkata, “Maka aku pun bersembunyi daru beliau, lalu aku pergi dan mandi, lalu aku kembali datang (kepada beliau). Maka beliau pun bertanya, “Di manakah kamu tadi wahai Abu Hurairah? “Dia (Abu Hurairah) menjawab, “Tadi aku dalam keadaan junub, dan aku tidak ingin duduk bermajlis bersama engkau dalam keadaan tidak suci (berjunub). “Maka beliau bersabda, “Subḥānahallah (Maha Suci Allah), sesungguhnya seorang itu tidaklah najis.”
Syarah Hadits
Perkataannya di dalam hadits Abu Hurairah Raḍiallāhu ‘Anhu, “Bahwasannya Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam berjumpa dengannya di suatu jalan di kota Madinah sedang dia dalam keadaan junub …”
Di dalam hadits ini terdapat beberapa penjelasan berikut:
Abu Hurairah Raḍiallāhu ‘Anhu adalah seorang sahabat yang selalu mendampingi Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam. Oleh karena itu dia mendapatkan banyak ilmu meskipun dia masuk Islam pada tahun tujuh Hijriyah, dan dia adalah seorang sahabat yang meriwayatkan banyak hadits.
Perkataan Abu Hurairah Raḍiallāhu ‘Anhu, “Maka aku pun bersembunyi.” Kalimat Al-Inkhinaas artinya pergi dengan sembunyi-sembunyi.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Hukum Mandi Junub dan Tata Caranya, Source: Photo by George Pexels
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam juga bersabda:
عَنْ عَائِشَةَ ، قَالَتْ : كَانَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا اغْتَسَلَ مِنَ الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ ثُمَّ اغْتَسَلَ ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ. وَقَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نَغْرِفُ مِنْهُ جَمِيعًا
Artinya:
“Dari Aisyah Raḍiallāhu ‘Anhā, dia berkata, “Apabila Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam mandi junub, beliau membasuh kedua tangannya, lalu beliau berwudhu seperti wudhunya untuk shalat, lalu barulah beliau mandi. Beliau menyela-nyela rambutnya dengan kedua tangannya, dan setelah beliau merasa membasahi seluruh kulit kepalanya, beliau mengguyurkan air di atasnya sebanyak tiga kali, kemudian beliau mengguyur seluruh tubuhnya.” Aisyah Raḍiallāhu ‘Anhā juga berkata, “Aku dan Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam pernah mandi dari satu bejana, dan kami sama-sama menciduk air darinya.” (HR. Bukhari Muslim)
Syarah Hadits
Perkataannya di dalam hadits Aisyah Raḍiallāhu ‘Anhā, “Dahulu apabila Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam mandi karena junub …” Yaitu apabila beliau hendak mandi karena junub, dan itu merupakan contoh tatacara mandi yang sempurna.
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang wajibnya menyempurnakan mandi dan menyela-nyela rambut agar air dapat sampai kulit, baik rambut itu sedikit maupun lebat. Berbeda halnya dengan wudhu, tidak wajib untuk menyela-nyela rambut yang lebat ketika berwudhu.
Di dalam hadits ini juga terdapat penjelasan seperti yang dikatakan oleh ulama fikih, praduga atau prasangka dalam kesempurnaan mandi atau wudhu dapat menempati posisi keyakinan. Perkataanya, “Beliau mengguyurkan air di atasnya sebanyak tiga kali.” Yaitu mengguyurkan air di atas kepalanya.
Perkataan, “Beliau berwudhu seperti wudhunya untuk shalat.” Yang zhahir adalah bahwa beliau menyempurnakan wudhu tersebut.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Hukum Mandi Junub dan Tata Caranya, Source: Photo by Max Pexels
Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa diperbolehkan bagi sepasang suami istri untuk mandi bersama dengan satu bejana, karena hal itu tidak merusak air dan tidak merubahnya sedikitpun. Adapun jika ada seorang wanita mandi dengan satu bejana, maka padanya terdapat perselisihan pendapat para ulama.
Pendapat yang masyhur dari madzhab Ahmad bahwa apabila seorang wanita menggunakan satu bejana bersuci dari suatu hadats (junub), maka ait tersebut tetap suci tetapi tidak mensucikan. Akan tetapi menurut pendapat yang shahih, air tersebut tetap suci dan dapat digunakan untuk bersuci.
Oleh karena itu, ketika Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam ingin mandi dari sisa air suci yang digunakan oleh Maimunah binti Al-harits Raḍiallāhu ‘Anhā, dia berkata “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku junub.” Maka beliaupun bersabda:
إِنَّ الْمَاءَ لاَ يَجْنُبُ
Artinya:
“Sesungguhnya air tidak berubah menjadi junub.” (HR. Abu Daud)
Juga tidak ada dalil yang menunjukkan kerusakan air tersebut dengan jalur periwayatan yang shahih. Di dalam hadits ini terdapat penjelasan bahwa meraup atau mengambil air secara langsung tidaklah merubah kesucian air apabila seseorang telah membersihkan tangannya.
Dikutip dari: Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di, Syarah Umdatul Ahkaam. Edisi terjemah: Alih Bahasa Suharlan, Lc., dan Suratman, Lc., Syarah Umatul Ahkam, (Jakarta: Darus Sunnah Press, 2017), 055-059.
Thumbnail Source: Photo by Farook Pexels
Artikel Terkait:
Tata Cara Shalat Jenazah