Ajaran agama secara keseluruhan terangkum dalam kata Islam dan Iman. Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam telah membedakan antara pengertian Islam, iman, dan Ihsan dala hadis Jibril ‘Alaihi Al-Salam.
Imam Bukhari meriwayatkan dengan sanadnya dari Abu Hurairah Raḍiallāhu ‘Anhu, ia berkata,
“Suatu hari Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam menampakkan diri di hadapan para sahabat. Tiba-tiba malaikat Jibril mendatangi beliau dan bertanya, ‘Apa itu iman?’ Beliau menjawab, ‘Iman ialah percaya kepada Allah, para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, para utusan-Nya, dan percaya pada hari kebangkitan.’ Ia bertanya lagi, ‘Apa itu Islam?’ Beliau menjawab, ‘Islam ialah beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya, mendirikan shalat, menunaikan zakat yang diwajibkan, shaum Ramadhan, menunaikan ibadah haji di Baitullah.’ Ia bertanya lagi, ‘Apa itu ihsan?’ Beliau menjawab, ‘Beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihat-Nya. Bila ternyata kau tidak dapat melihat-Nya, sungguh Dia melihatmu.’ Ia bertanya lagi, ‘Kapan kiamat terjadi?’ Beliau menjawab, ‘Tidaklah orang yang kau tanyai lebih mengetahui dari penanya. Akan tetapi, aku akan memberitahukan kepadamu tanda-tandanya. Bila budak perempuan telah melahirkan tuannya dan bila para penggembala kambing telah berlomba-lomba dalam meninggikan bangunan. Itu semua termasuk dalam lima hal hanya diketahui oleh Allah.’ Kemudian, ia berbalik pergi. Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam lalu menyuruh para sahat, ‘Panggilah ia!’ Namun, para sahabat sudah tidak melihat sesuatupun. Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam lantas bersabda, ‘Ia adalah Jibril yang dating untuk mengajarkan ilmu agama kepada umat manusia’.”
Site: Bina Qurani Islamic School, Image: Islam dan Iman, Source: Photo by Michael B Pexels
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam seringkali menyebut beberapa hal dengan sebutan Islam. Seperti penyerahan hati, menghindarkan manusia dari gangguan lisan, dan tangan, memberi makan (fakir-miskin), berkata yang baik, dan semua perkara yang beliau sebut dengan sebutan Islam di dalamnya Nampak jelas ada ketundukan dan kepatuhan.
Status Islam akan kuat dengan dua kalimat syahadat, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, dan menunaikan ibadah haji ke Baitullah. Inilah syi’ar-syi’ar Islam yang paling tampak. Dengan menunaikannya, penyerahan diri seseorang dianggap sempurna dan dengan meninggalkannya ia dianggap tidak taat dan patuh.
Penyerahan hati juga mengandung makna rida dan taat. Adapun menghindarkan manusia dari gangguan lisan dan tangan mengandung makna adanya ikatan persaudaraan dalam agama (ukhuwah Islamiyah). Menyingkirkan bahaya juga termasuk menjalankan ajaran agama ini yang mengajak pada yang baik, melarang menyakiti, menyuruh pada sikap saling tolong-menolong, dan mengajak pada semua yang baik.
Apabila seseorang mengerjakan semua itu, juga sifat-sofat terpuji lainnya, ia berarti termasuk orang yang taat dan patuh. Itulah di antara gambaran paling jelas dalam menerjemahkan ajaran Islam. Sebab, sifat-sifat terpuji tersebut mustahil lahir sebagai buah amalan dan perilaku apabila tidak ada tashdiq atau pembenaran. Sifat-sifat itulah yang menjadi terjemahan dari Islam.
Site: Bina Qurani Islamic School, Image: Islam dan Iman, Source: Photo by Moh Hassan Pixabay
Kita semua telah mengetahui jawaban Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam dalam hadis Jibril. Beliau juga menyebut banyak hal dalam hadis lain seperti akhlak mulia, murah hati, sabar, cinta Rasul dan kaum Anshar, serta memiliki rasa malu dan banyak hal lain, dengan sebutan iman.
Keimanan yang berarti pembenaran secara batin. Namun, beliau tidak mengkhususkan iman dengan perkara-perkara yang bersifat batin. Sebaliknya, beliau menyebutkan bahwa amalan-amalan lahiriyah juga disebut dengan keimanan, dan sebagiannya lagi afa yang beliau sebut dengan Islam.
Beliau menyebut keimanan utusan Abul Qais dengan sebutan Islam sebagaimana yang terdapat dalam hadis Jibril. Beliau juga menyebutkan di dalam hadis syu’abul iman (cabang-cabang keimanan); “Yang paling tinggi ialah ucapan Laa ilaaha illallah … dan yang paling rendah ialah menyingkirkan bahaya (batu, duri, dan sejenisnya) dari tengah jalan.” Berikut amalan-amalan lahir dan batin yang ada di antara kedua tingkatan iman tersebut.
Sebagaimana diketahui bahwa amalan-amalan tersebut menjadi bukti keimanan kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā tanpa adanya keimanan dalam hati seperti yang sering disebutkan dalam banyak nash syar’i mengenai pentingnya keimanan dalam hati. Mengamalkan syiar-syiar lahiriyah yang disertai dengan pembenaran dalam hati itulah keimanan.
Jadi, Ilam mencakup pembenaran dalam hati dan praktik pengalaman. Itulah penyerahan diri kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā.
Atas dasar ini semua maka dapat dikatakan bahwa:
Apabila kata Islam dan iman disebutkan bersamaan maka kata Islam diartikan dengan amalan-amalan lahir dan kata iman diartikan dengan amalan batin. Namun, apabila salah satu yang disebutkan maka ia juga diartikan seperti yang lain. Artinya, Islam diartikan dengan keyakinan dan amalan, sebagaimana iman jika disebutkan sendirian juga memiliki arti yang sama.
Keduanya sama-sama wajib. Seseorang tidak akan dapat meraih ridha Allah dan diselamatkan dari azab-Nya, kecuali bila secara lahir ia patuh kepada-Nya dengan disertai keyakinan dalam hati. Keduanya tidak boleh dipisahkan.
Iman dan Islam yang diwajibkan atas seseorang tidak akan sempurna, kecuali bila ia menjalankan perintah-perintah-Nya dan menjauhi larangan-larangan-Nya. Namun, kesempurnaan iman yang wajib itu juga belum mencapai titik maksimal karena adanya perbedaan tingkatan dalam pertambahan amal dari amalan sunah, dan bertambahnya tashdiq atau pembenaran.
Dikutip dari: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid Kitabut Tauhid lis-Shaff Al-Awwal – Ats-Tsalis – Al-Aly. Edisi terjemah: Alih Bahasa Syahirul Alim Al-Adib, Lc., Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2018), 153-156.
Thumbnail Source: Photo by Malik Shibly Unsplash
Artikel Terkait:
Bertambah dan Berkurangnya Iman