Islamic Boarding School atau yang jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia adalah sekolah Islam berasrama telah menjadi model sekolah yang cukup menarik perhatian berbagai kalangan. Baik dari kalangan para pakar maupun dari kalangan masyarakat biasa. Tidak sedikit para pakar baik dari kalangan pendidikan, ekonomi, politik, budaya dan lainnya yang memberi asumsi dan pandangan menurut keahliannya masing-masing dan sesuai dengan perspektifnya masing-masing. Demikian pula masyarakat awam tidak kalah berkomentar walaupun sependek pemikiran mereka tentang Islamic Boarding School.
Dewasa ini, Islamic Boarding School secara kuantitas semakin bertambah tahun semakin bertambah jumlahnya. Bak jamur di musim penghujan, kehadiran Islamic Boarding School di tengah-tengah masyarakat semakin tidak terbendung. Islamic Boarding School ini biasanya lebih subur pertumbuhan dan perkembangannya di wilayah penyangga Ibu Kota Jakarta seperti Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi. Sebut saja sekolah FIWA, Al-Wafi, Nurul Fikri, Bina Qurani, dan lain-lain di Bogor. Sekolah Zam Zam Syifa, Al-Qudwah, Al-Manar Azhari, dan lain-lain di Depok. Sekolah al-Kamil, Granada, Ibnu Katsir, dan lain-lain di Tangerang. Sekolah Al-Binaa, Alexandria, Al-Ma’had, dan lain sebagainya.
Kehadiran Islamic Boarding School yang cukup pesat tersebut pada realitasnya mendapatkan penilaian yang Pro dan Kontra. Pro dan kontranya biasanya bermuara pada dua aspek, yaitu pertama, masalah kurikulum dan kedua, masalah biaya.
Pertama, masalah kurikulum. Pada umumnya Islamic Boarding School menerapkan dwi kurikulum yaitu kurikulum Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dan Kurikulum Keagamaan yang disusun sendiri oleh sekolah masing-masing sehingga secara rinci antara Islamic Boarding School yang satu dengan Islamic Boarding School yang lainnya berbeda-beda. Penerapan dwi kurikulum tersebut baik yang sifatnya terpadu sehingga muncul istilah Sekolah Islam Terpadu (SIT) atau yang sifatnya integratif sehingga muncul istilah sekolah yang mengintegrasikan antara ilmu umum dan ilmu agama pada dasarnya bermuara pada satu landasan filosofis yang sama yaitu bagaimana melahirkan output yang kokoh secara IMTAK (Iman dan Takwa) dan mumpuni dalam bidang IPTEK (Ilmu Pengetahuan dan Teknologi).
Oleh sebagian kalangan, konsepsi kurikulum sebagaimana di atas seringkali dinilai dapat melahirkan tren pendidikan Islam yang cenderung ekslusif bahkan mengarah kepada radikalisme. Padahal realitasnya mayoritas sekolah-sekolah Islam tersebut memberikan kontribusi positif yang cukup signifikan bagi kemajuan pendidikan baik di kancah nasional maupun di kancah internasional.
Kedua, masalah biaya. Pada umumnya, Islamic Boarding School menawarkan biaya pendidikan yang cukup mahal sehingga seringkali banyak para orang tua harus menelan pil pahit karena tidak bisa memasukkan anaknya ke sekolah Islam tersebut. Biaya pada Islamic Boarding School ini yang cukup mahal sebenarnya dapat dipahami secara sederhana, yaitu disebabkan segala sesuatu yang berkaitan dengan sekolah tersebut bersumber dari dana sendiri bukan dari pemerintah, walaupun ada tetapi tidak terlalu signifikan. Mulai dari gaji pendidik dan tenaga kependidikan, pelayanan, pengadaan sarana prasarana, penyediaan sarana pelengkap, sampai kepada biaya-biaya tak terduga. Namun demikian, tidak sedikit juga sekolah Islam yang menerapkan subsidi silang bagi masyarakat yang tidak mampu terutama untuk anak-anak warga sekitar sekolah Islam tersebut. Di samping itu, seiring berjalannya waktu banyak juga sekolah-sekolah yang diperuntukkan untuk kaum fakir miskin sehingga ini menjadi alternatif bagi mereka yang belum dikaruniai kemampuan finansial untuk menyekolahkan anaknya di Islamic Boarding School.
#Bina Qurani #Islamic Boarding School #Kontra #Pro