Nama-nama yang mulia ini bukanlah sekedar nama kosong yang tidak mengandung makna dan sifat. Justru ia adalah nama-nama yang menunjukkan kepada makna yang mulia dan sifat yang agung.
Setiap nama menunjukkan kepada sifat. Maka nama Ar-rahman dan Ar-Rahim menunjukkan sifat rahmah. As-Sami’ dan Al-bashir menunjukkan sifat mendengar dan melihat. Al-‘Alim menunjukkan sifat ilmu yang luas, Al-Karim menunjukkan sifat karam (dermawan dan mulia). Al-Khaliq menunjukkan Dia menciptakan. Dan Ar-Razzaq menunjukkan Dia memberi rezeki dengan jumlah yang banyak sekali. Begitulah seterusnya, setiap nama dari nama-nama-Nya menunjukkan sifat dari sifat-sifat-Nya.
Syaikh Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap nama dari nama-nama-Nya menunjukkan kepada Dzat yang disebutnya dan sifat yang dikandungnya, seperti Al-‘Alim menunjukkan Dzat dan ilmu, Al-Qodir menunjukkan Dzat dan qudrah, Ar-Rahim menunjukkan Dzat dan sifat rahmat.
Site: Bina Qurani Islamic School, Image: Kandungan Asmaul Husna, Source: Photo by Anis Coquelet from Unsplash
Ibnu Qayyim menyatakan bahwa nama-nama Rabb Subḥānahu Wa Ta’ālā menunjukkan sifat-sifat kesempurnaan-Nya, karena ia diambil dari sifat-sifat-Nya. Jadi ia adalah nama sekaligus sifat dan karena itulah ia menjadi husna. Sebab andaikata ia hanyalah lafal-lafal yang tak bermakna maka:
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman,
إِنَّ اللَّهَ هُوَ الرَّزَّاقُ ذُو الْقُوَّةِ الْمَتِينُ (58)
Artinya:
“Sesungguhnya Allah Dialah Maha Pemberi Rezeki yang mempunyai kekuatan lagi sangat kokoh.” (QS. Adz-Dzariyat [51]: 58)
Dari sini diketahui bahwa Al-Qawiy adalah salah satu nama-nama-Nya yang bermakna “Dia yang Mempunyai Kekuatan.”
Site: Bina Qurani Islamic School, Image: Kandungan Asmaul Husna, Source: Photo by Abdullah Oguk from Unsplash
Begitu pula firman Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā,
فَلِلَّهِ الْعِزَّةُ جَمِيعًا
Artinya:
“Maka bagi Allah-lah kemuliaan itu semuanya.” (QS. Fathir [35]: 10)
ألعزيز adalah Yang Memiliki Izzah atau kemuliaan. Seandainya tidak memiliki kekuatan dan izzah maka tidak boleh dinamakan ألعزيز atau ألقوي.
Seandainya asma-Nya tidak mengandung makna dan sifat, maka tidak boleh mengabari tentang Allah dengan fi’il atau kata kerjanya. Maka tidak boleh dikatakan Dia mendengar, Dia melihat, Dia mengetahui, Dia berkuasa, dan Dia berkehendak.
Karena tetapnya hukum-hukum sifat adalah satu cabang dari ketetapan sifat-sifat itu. Jika pangkal sifat tidak ada, maka mustahil adanya ketetapan hukumnya.
Dikutip dari: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid Kitabut Tauhid lis-Shaff Al-Awwal – Ats-Tsalis – Al-Aly. Edisi terjemah: Alih Bahasa Syahirul Alim Al-Adib, Lc., Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2018), 77-78.
Thumbnail Source: Photo by Abdullah Oguk from Unsplash
Artikel Terkait:
Tauhid Uluhiyah