Secara bahasa, tayammum berarti al-qoshdu, yang artinya berniat atau bermaksud. Makna berniat atau bermaksud di sini adalah untuk melakukan thaharah atau bersuci. Tayammum merupakan di antara bentuk thaharah atau bersuci sebagai pengganti wudhu dan mandi.
Apabila seorang muslim hendak bersuci kemudian kehabisan air atau tidak bisa menggunakan air karena khawatir akan memperparah penyakit atau juga karena udara sangat dingin, maka diperbolehkan untuk tayammum dengan menggunakan debu.
Hal ini sebagaimana firman Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā:
فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
Artinya:
“Lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih), sapulah wajah dan tanganmu dengan tanah ini.” (QS. Al-Maidah: 6)
Seorang muslim bileh bertayammum untuk menghilangkan hadats kecil maupun besar. Hal ini sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imran bin Hushain Raḍiallāhu ‘Anhu, ia berkata, “Kami pernah bersama Nabi dalam satu perjalanan. Saat itu kami shalat di belakang beliau Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam. Seusai shalat, Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam melihat seorang laki-laki yang menyendiri, ia tidak mengikuti shalat berjamaah. Nabi pun bertanya, ‘Apa yang menyebabkanmu tidak ikut shalat?’ Laki-laki itu menjawab, ‘Aku sedang junub dan tidak menemukan air untuk mandi’. Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Carilah debu, karena debu itu cukup bagimu’.” (HR. Bukhari Muslim)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Keadaan Dibolehkannya Tayammum, Source: Photo by Andrius Pexels
Ada beberapa keadaan dibolehkannya seorang muslim bertayammum. Di antara keadaan tersebut yaitu:
Syariat tayammum boleh dilaksanakan apabila tidak ditemukannya air untuk bersuci atau thaharah. Baik ketika seseorang sedang dalam perjalanan atau safar, maupun ketika sedang menetap di suatu wilayah atau bermukim.
Dibolehkannya tayammum juga apabila penggunaan air untuk thaharah dikhawatirkan memperparah suatu penyakit atau sejenisnya. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا
Artinya:
“Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah.” (QS. Al-Maidah: 6)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Keadaan Dibolehkannya Tayammum, Source: Photo by Joetography Pexels
Jika engkau ingin berwushu atau mandi tetapi hanya memiliki air sekedae untuk minum, makan, masak atau membersihkan najis, maka engkau bisa bertayammum dan menggunakan air yang ada untuk keperluan-keperluan di atas.
Apabila waktu shalat yang tersisa tinggal sedikit, dan diperkirakan akan habis apabila digunakan untuk berwudhu, maka pendapat yang paling rajih atau kuat dari dua pendapat ulama adalah disyariatkan bertayammum agar waktu shalat tidak habis. Ini adalah pendapat madzhab Abu Hanifah, Malik, Ibnu Hazm, dan Syaikhul Islam.
Hal ini tidak berlaku apabila seseorangt terlambat bangun dalam keadaan junub dan waktu shalat hampir habis. Dalam kasus ini yang harus dilakukan adalah segera mandi dan mengerjakan shalat meskipun waktu shalat sudah habis. Sebab, waktu shalat bagi orang yang tertidur lebih diluaskan.
Hal ini berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Orang yang tertidur tidak dianggap lalai. Orang yang lalai adalah mereka yang tidak shalat meskipun waktu shalat sudah masuk hingga tiba waktu shalat beriktunya. Maka barangsiapa yang tertidur, hendaklah dia shalat ketika terbangun.” (HR. Muslim)
Ini adalah madzhab jumhur ulama.
Dikutip dari: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ Wama Yajibu an Ta’rifahu Kullu Muslimatin min Ahkam. Edisi terjemah: Alih Bahasa M. Taqdir Arsyad, Fikih Sunnah Wanita Panduan Lengkap Wanita Muslimah, (Bogor: Griya Ilmu, 2019), 054-056.
Thumbnail Source: Photo by Sharad Pexels
Artikel Terkait:
Mengusap Dua Khuff