M. Umer Chapra menilai bahwa sistem negara kesejahteraan mengalami kegagalan sekalipun pada awalnya disambut suka cita sebagai solusi atas kegagalan kapitalisme dan sosialisme. Di antara bukti-bukti kegagalan sistem negara kesejahteraan disampaikan oleh M. Umer Chapra adalah anggaran yang membengkak sekalipun dibarengi dengan beban pajak yang sangat berat, kemiskinan serta kefakiran yang terus berlanjut dan bahkan semakin menajam, kebutuhan pokok semakin mahal, dan kesenjangan semakin bertambah.[1]
Paham Welfare State yang dianut negara-negara modern dan sistem ekonomi Islam memiliki perbedaan yang mendasar dan prinseip. Welfare State berorientasi pada kesejahteraan material semata, sedangkan sistem ekonomi Islam mengimplementasikan kesejahteraan material dan spiritual sekaligus. Dengan demikian, kesejahteraan dalam sistem ekonomi Islam adalah kesejahteraan yang seimbang antara kesejahteraan duniawi dan ukhrawi. Hal ini sebagaimana yang disimpulkan oleh Muhaimin,[2] Ariza Fuadi,[3] dan Agus Purnomo[4] adalam penelitiannya bahwa perbedaan konsep Welfare State dengan sistem ekonomi Islam sangat mendasar dan prinsip. Manifestasi sistem ekonomi Islam mencakup nilai ekonomi, nilai spiritual, sosial, dan politik islami.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Kegagalan Kapitalisme dan Sosialisme, Source: Photo by Vision Art Pexels
Bahkan, konsep Welfare State yang dianut dan diterapkan oleh negara-negara modern mengalami kegagalan-kegagalan dan menghadapi krisis-krisis, seperti kemiskinan, ketimpangan distribusi pendapatan, pengangguran, defisit fiskal, dan lain-lain. Kesimpulan tersebut juga dibenarkan oleh Sukron Kamil yang mengatakan resesi ekonomi yanga melanda negara-negara maju yang menganut sistem ekonomi Welfare State, seperti Swedia, Norwegia, Denmark, Filandia, dan Belanda, pada tahun 1970-an memperlihatkan kegagalan sistem Welfare State dan bahkan dianggap sebagai sebab utama kemerosotan ekonomi.
==========
[1] M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia, 2000), 344-345.
[2] Muhaimin, “Islam dan Welfare State (Sebuah Analisis Perbandingan)”, at-Taradhi Jurnal Studi Ekonomi: (2015), Vol.6, No.1, 75-82.
[3] Ariza Fuadi, “Negara Kesejahteraan (Walfare State) Dalam Pandangan Islam dan Kapitalisme”, Jurnal Ekonomi Syariah Indonesia: (2015), Vol.5, No.2, 13-31.
Ariza Fuadi mengatakan dalam kesimpulan tulisannnya bahwa konsep kesejahteraan dalam Islam belum teruji di suatu negara dan tidak memiliki bukti riil akan keberhasilannya atas korelasi antara kebijakan politik dan ekonomi dalam suatu negara. Kesimpulan tersebut jauh dari kebenaran dan melupakan sejarah Islam. Khususnya sistem ekonomi Islam yang pernah diterapkan pada masa al-Khulafā’ al-Rāshidūn. Hal ini sebagai ditunjukkan riwayat-riwayat yang mashūr berikut yang menunjukkan bahwa penerapan sistem ekonomi Islam dengan benar akan menciptakan kesejahteraan:
Pertama, Kesejahteraan rakyat terwujud pada masa khalifah ‘Umar ibn al-Khaṭāb. Yaitu pada saat Mu’ādz ibn Jabal sebagai gubernur Yaman mengirimkan sepertiga sisa harta zakat ke Bayt al-Māl Pusat. ‘Umar mengembalikan harta zakat tersebut untuk digunakan pengentasan kemiskinan di Yaman. Kemudian Muadz ibn Jabal mengirimkannya kembali setengah dari surplus harta zakat ke pemerintahan pusat pada tahun kedua disebabkan tidak ada lagi mustahik di Yaman. Hal ini menunjukkan bukti sistem ekonomi Islam telah berhasil diterapkan pada masa al-Khulafā’ al-Rāshidūn.
Kedua, kesejahteraan tercipta pada masa Uthmān sebagaimana dikatakan oleh Hasan al-Bashri, “Hampir setiap hari orang-orang ketika itu berbagi harta benda. Sampai-sampai ada yang memanggil-manggil: kesinilah wahai para hamba Allah, ambil madu bagianmu! Kesinilah wahai para hamba Allah! Ambil harta benda bagianmu.” Lihat, ‘‘Uthmān ibn Muhammad al-Khamīs, Ḥuqbah Min al-Tārīkh, (Iskandariyah: Dār al-Imān, 1999), 91.
Ketiga, Kesejahteraan terwujud pada masa ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz yang hanya menjabat 2.5 tahun saja sebagaimana yang disampaikan oleh Yahya ibn Sa’id bahwa kondisi tidak ditemukannya kaum fakir miskin yang berhak menerima zakat di Afrika ini karena keadilan ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz. Akhirnya beliau menggunakan harta zakat tersebut untuk memerdekakan budak. Riwayat Yaḥya bin Sa’īd menggambarkan kondisi ekonomi pada masa khilafah ‘Umar ibn ‘Abd al-‘Azīz. Harta zakat pada zaman beliau melebihi kebutuhan rakyat. Sehingga orang yang termasuk kategori berhak menerima zakat tidak ada. Lihat, Abdullah Nasih Ulwan, Panduan Lengkap dan Praktis Zakat Dalam Empat Mazhab, (Jakarta: Gadika Pustaka, 2011), 14.
[4] Agus Purnomo, “Islam dan Konsep Welfare State Dalam Ekonomi Islam”, al-Iqtishadiyah Jurnal Ekonomi Syariah dan Hukum Ekonomi Islam: (2015), Vol.2, No.2, 99-108.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 75-76.
Thumbnail Source: Photo by Leon Pexels
Artikel Terkait:
Penerapan Ekonomi Pancasila