Kewajiban seorang hamba yang pertama ialah mencintai Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā. Sebuah ibadah yang paling agung. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
وَالَّذِينَ آمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
Artinya:
“Adapun orang-orang yang beriman lebih cinta kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah: 165)
Sebab, Dia-lah Rabb yang menganugerahkan seluruh nikmat lahir dan batin kepada seluruh hamba. Kemudian, setelah mencintai Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā, hamba wajib mencintai Rasul-Nya, Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam. Karena dialah penyeru kepada ajaran Allah, mengenalkannya, menyampaikan syariat-Nya, dan menjelaskan hukum-hukum-Nya.
Oleh karena itu, kebaikan dunia dan akhirat yang diperoleh kaum mukminin tidak lain merupakan hasil usaha Rasul ini. Lebih dari itu, seseorang tidak dapat masuk surga kecuali dengan menaati dan meneladani beliau Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Kewajiban Mencintai dan Mengagungkan Rasul, Source: Photo by Amine Pexels
Dalam sebuah hadits disebutkan:
ثَلاَثٌ مَنْ كُنَّ فِيهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلاَوَةَ الإِيمَانِ مَنْ كَانَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُحِبَّ الْمَرْءَ لاَ يُحِبُّهُ إِلاَّ لِلَّهِ وَأَنْ يَكْرَهَ أَنْ يَعُودَ فِى الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللَّهُ مِنْهُ كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِى النَّارِ
Artinya:
“Ada tiga sifat, barangsiapa yang di dalam dirinya terdapat tiga sifat ini niscaya ia akan merasakan manisnya iman, yaitu Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai daripada selain keduanya, mencintai seseorang karena Allah, dan tidak mau kembali terjerumus pada kekufuran setelah Allah menyelamatkan darinya seperti halnya ia tidak mau dilemparkan ke dalam api neraka.” (HR. Bukhari Muslim)
Cinta kepada Rasul mengikuti cinta kepada Allah dan kelaziman untuknya. Ia berada satu tingkatan di bawahnya. Perintah mencintai beliau Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam secara khusus dan kewajiban mendahulukan cinta kepada beliau atas yang lain selain Allah disebutkan di dalam sabda beliau:
لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ، وَوَلَدِهِ، وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ
Artinya:
“Tidak sempurna iman salah seorang dari kalian hingga aku lebih ia cintai daripada anaknya, bapaknya, dan seluruh manusia.” (HR. Bukhari Muslim)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Kewajiban Mencintai dan Mengagungkan Rasul, Source: Photo by Adli Wahid Unsplash
Berdasarkan hadits di atas, mencintai Rasul Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam hukumnya wajib dan harus lebih didahulukan daripada yang lain selain mencintai Allah. Sebab, cinta kepada Rasul itu mengikuti dan menyertai cinta kepada Allah. Cinta kepada Rasul menjadi bukti cinta kepada Allah. Karena Allah pula seseorang mencintai Rasul.
Cinta kepada Rasul dapat bertambah dan berkurang sesuai bertambah dan berkurangnya kecintaan kepada Allah di dalam hati seorang mukmin. Dan setiap orang yang mencitnati Allah ia pasti mencitai karena-Nya dan untuk-Nya.
Mencintai Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam menuntut adanya konsekwensi mengagungkan, menghormati, mengikuti, dan lebih mendahulukan sabda beliau daripada perkataan semua orang serta mengagungkan sunah beliau.
Ibnul Qayyim Raḥimahullāh berkata, “Cinta dan pengagungan kepada manusia hanya diperbolehkan jika mengikuti cinta dan pengagungan kepada Allah. Sebagaimana cinta dan pengagungan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam merupakan kesempurnaan cinta dan pengagungan kepada Zatyang telah mengutus beliau.”
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Kewajiban Mencintai dan Mengagungkan Rasul, Source: Photo by Daniel Olah Unsplash
Umatnya mencintai beliau karena kecintaan Allah kepada beliau. Demikian juga dengan pengagungan dan pemuliaan kepada beliau karena Allah memuliakan beliau. Ia merupakan cinta karena Allah dan termasuk konsekwensi mencintai Allah.
Maksudnya, Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā telah memberi kewibawaan dan kecintaan kepada Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun yang dicintai, berwibawa, dan dimuliakan di hati manusia melebihi kecintaan kepada Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam yang ada di hati para sahabat.
Dikutip dari: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid Kitabut Tauhid lis-Shaff Al-Awwal – Ats-Tsalis – Al-Aly. Edisi terjemah: Alih Bahasa Syahirul Alim Al-Adib, Lc., Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2018), 409-412.
Thumbnail Source: Photo by Rachid Unsplash
Artikel Terkait:
Mengimani Muhammad Sebagai Nabi dan Rasul