Islam sebagai agama yang sempurna dan paripurna juga memiliki konsep kesejahteraan. Tetapi, konsep kesejahteraan dalam agama Islam berbeda dengan konsep kesejahteraan sebagaimana dalam konsep Welfare State. Kesejahteraan dalam konsep Welfare State hanya mengacu pada kesejahteraan materiil saja dan mengabaikan kesejahteraan spiritual serta moral. Sedangkan konsep kesejahteraan dalam Islam mencakup nilai-nilai ekonomi dan spiritual serta moral.
Menurut M. Umer Chapra,[1] Afzalur Rahman,[2] M. Abdul Manan,[3] dan Muhammad Sharif Chaudry[4] bahwa aspek spiritual dan moral yang menjadi perbedaan mendasar antara konsep negara kesejahteraan Islam dengan konsep Welfare State yang dianut dan dikembangkan negara-negara modern. Dalam kajian ini, penulis akan menjadikan konsep kesejahteraan M. Umer Chapra sebagai landasan teori dalam tulisan ini. Ekonom muslim kotemporer lainnya yang sependapat dengan pandangan M. Umer Chapra hanya memperkuat teori-teori yang disampaikan oleh Chapra.
M. Umer Chapra[5] mengatakan bahwa Islam merupakan pandangan hidup yang seimbang dan terpadu yang dapat mengantarkan seseorang menggapai kebahagiaan (falah) melalui penegakan keharmonisan antara kebutuhan-kebutuhan moral dan materiil manusia dan aktualisasi keadilan sosioekonomi serta persaudaraan dalam masyarakat. Menurut M. Umer Chapra[6] juga bahwa kesejahteraan atau disebut dengan istilah falah itu mencakup kepuasan fisik dan rohani. Sebab kedamaian mental dan kebahagiaan hanya dapat diraih dengan cara realisasi yang seimbang antara kebutuhan materi dan rohani dari setiap orang.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Konsep Kesejahteraan Islam, Source: Photo by Syed Pexels
Konsep Islam tentang kebahagiaan manusia (falāh) dan kehidupan yang baik (hayātan ṭayyibah) sangat menekankan aspek persaudaraan (ukhuwah), keadilan sosio-ekonomi, dan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan spiritual. Hal ini berdasarkan keyakinan bahwa manusia memiliki kedudukan yang sama di sisi Allah S.W.T. sebagaimana seorang hamba dan seorang khalifah di muka bumi yang tidak akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan batin kecuali jika kebutuhan materiil dan spiritual terpenuhi. Menurut Islam bahwa peningkatan spiritual merupakan isi utama dari kebahagiaan manusia (falāh) dan setiap usaha yang dilakukan tanpa menyertakan peningkatan spiritual niscaya hanya akan menuai kegagalan.[7]
==========
[1] M. Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia, 2005), 7-9.
[2] Afzalur Rahman, Doktrin Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bakti Wakaf, 1995), jilid 1, 50-54.
[3] M. Abdul Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Wakaf, 1995), 357-365.
[4] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi Islam: Prinsip Dasar, (Jakarta: Kencana, 2012), 303-306.
[5] M. Umer Chapra, Sistem Moneter Islam, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia, 2000), xv.
[6] M. Umer Chapra, Islam dan Pembangunan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia, 2005), 8.
[7] M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia, 2000), 7-13.
Menurut Chapra bahwa peningkatan spiritual merupakan isi utama dari kebahagiaan manusia (falāh) dan setiap usaha yang dilakukan tanpa menyertakan peningkatan spiritual niscaya hanya akan menuai kegagalan. Penyebutan kata al-Falāh dalam al-Qur’an sekitar empat puluh kali dalam beragam konteks menunjukkan bahwa al-Falāh merupakan dasar konsep kesejahteraan. Dasar konsep hayātan ṭayyibah adalah firman Allah dalam surat al-Naḥl ayat 97.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 54-55.
Thumbnail Source: Photo by Thirdman Pexels
Artikel Terkait:
Sistem Ekonomi Indonesia