Seorang wanita yang telah berpisah dengan suaminya, baik karena suaminya telah meninggal dunia atau karena suaminya telah menceraikannya, maka dia berstatus dalam masa tunggu atau masa ‘iddah. ‘Iddah adalah masa menunggu seorang wanita untuk menikah lagi setelah ditinggal mati atau dicerai suaminya.
Massa ‘iddah yaitu masa di mana seorang wanita menunggu untuk dibolehkan menikah lagi setelah habis waktunya, baik dengan hitungan quru’ (masa haidh) atau dengan hitungan bulan. Masa ‘iddah sudah dikenal di masa jahiliyah. Namun ketika Islam datang, masalah ini tetap diakui dan dipertahankan.
Masa ‘iddah setiap wanita berbeda-beda terganggung dari kasus dan keadaan serta sebab perpisahannya dengan suaminya. Adapun masa ‘iddah wanita yang ditinggal mati suaminya adalah empat bulan sepuluh hari.
Massa ‘Iddah merupakan syariat Islam yang mulia, di dalamnya terkandung banyak hikmah yang bisa diambil. Di antara hikmah yang bisa diambil dari syariat masa ‘iddah bagi wanita yaitu:
Adanya syariat masa ‘iddah adalah untuk mengetahui terbebasnya rahim, dan sehingga tidak bersatu antara air mani dari dua laki-laki atau lebih yang telah menggauli wanita tersebut pada rahimnya. Sehingga nasab anak yang mungkin dilahirkan tidak menjadi kacau.
Masa ‘iddah juga menunjukkan keagungan, kemuliaan masalah pernikahan dan hubungan badan.
Adanya masa ‘iddah juga memberikan kesempatan bagi sang suami yang telah mentalak istrinya untuk rujuk kembali. Karena, bisa jadi ada suami yang menyesal setelah mentalak istrinya.
Syariat masa ‘iddah bagi wanita juga sebagai wujud untuk memuliakan kedudukan sang suami di mata istri. Sehingga dengan adanya masa iddah akan semakin nampak pengaruh perpisahan antara pasangan suami istri.
Karena itu, di masa ‘iddah bagi wanita yang ditinggal mati, wanita dilarang untuk berhias dan mempercantik diri, sebagai bentuk berkabung atas meninggalnya sang kekasih.
Hikmah lain dari masa ‘iddah seorang wanita adalah untuk berhati-hati dalam menjaga suami, kemaslahatan istri dan hak anak-anak, serta melaksanakan hak Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā yang telah mewajibkannya.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Masa ‘Iddah Wanita, Source: Photo by Lalesh Pexels
Tidak ada hadits shahih dari Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam tentang hal ini. Akan tetapi telah shahih dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, ‘Aisyah, dan Jabir bin’ Abdillah bahwa wanita yang ditinggal mati suaminya menunggu masa ‘iddahnya di mana pun ia mau. Sedangkan ‘Umar, Ibnu ‘Umar dan Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa ia menunggu di rumah suaminya.
Dan pendapat pertama lebih kuat karena tidak adanya dalil shahih dari Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam yang menjelaskannya secara khusus. Wallahu a’lam.
Wanita yang sedang hamil kemudian suaminya meninggal, masa ‘iddahnya berakhir setelah ia melahirkan, berdasarkan firman dari Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā:
وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ وَمَنْ
Artinya:
“Dan wanita-wanita yang hamil, waktu ‘iddah mereka itu sampai mereka melahirkan kandungannya.” (QS. Ath-Thalaq: 4)
Ummu Salamah berkata, “Suami Sabi’ah al-Aslamiyyah terbunuh ketika ia sedang hamil. Empat puluh hari setelah suaminya meninggal, ia pun melahirkan. Setelah melahirkan, ia dilamar dan dinikahkan oleh Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam. Laki-laki yang melamarnya bernama Abus Sanabil.” (HR. Bukhari Muslim)
Dikutip dari: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ Wama Yajibu an Ta’rifahu Kullu Muslimatin min Ahkam. Edisi terjemah: Alih Bahasa M. Taqdir Arsyad, Fikih Sunnah Wanita Panduan Lengkap Wanita Muslimah, (Bogor: Griya Ilmu, 2019), 258-259.
Thumbnail Source: Photo by Abhisek Pexels
Artikel Terkait:
Shalat di Rumah bagi Wanita