Seyogianya seorang penuntut ilmu memilih yang terbaik dari setiap ilmu. Selain itu, ia harus memilih ilmu yang ia butuhkan dalam urusan agamanya pada saat itu, kemudian ilmu yang ia butuhkan pada masa yang akan datang.
Thalibul ilmi harus mendahulukan ilmu tauhid dan ma’rifah, dan mengenali Allah dengan dalil-dalilnya. Sebab, keimanan seorang muqallid meskipun sah, munurut pendapat kami, tetapi ia berdosa ketika meninggalkan istidlal. Di samping itu, ia harus memilih ilmu yang terdahulu (al-atiq) bukan ilmu yang baru (al-muhdatsat).
Para ulama berkata:
“Berpegangteguhlah dengan ilmu yang terdahulu dan jauhilah ilmu yang baru.”
Jangan sibuk dengan perdebatan yang mulai muncul setelah wafatnya para ulama kibar, karena hal itu dapat menjauhkan dari pemahaman, menyia-nyiakan umur, menimbulkan sikap amoral, permusuhan, dan merupakan salah satu tanda-tanda hari kiamat, serta diangkatnya ilmu dan fikih (pemahaman). Begitulah yang disebutkan di dalam hadis.
Adapun dalam memilih guru, seyogianya seorang penuntut ilmu memilih yang paling berilmu, paling wara’, dan paling tua, sebagaimana Abu Hanifah Raḥimahullāh memilih Hammad bin Sulaiman Raḥimahullāh setelah merenung dan memikirkannya. Ia berkata, “Aku mendapatinya (Hammad) sudah tua, berwibawa, murah hati dan penyabar.” Lalu beliau berkata lagi, “Aku belajar kepada (Hammad bin Abi Sulaiman) hingga aku tumbuh.” Lalu berkata lagi, “Aku pernah mendengar salah seorang penuntut ilmu meminta pertimbangan kepadaku tentang thalalbul ilmi, sementara ia berniat pergi ke Bukhara untuk thalabul ilmi.”
Begitulah seharusnya seseorang mesti meminta pertimbangan dalam segala urusannya, karena Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā telah memerintahkan Rasul-Nya Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam untuk bermusyawarah dalam segala urusan padahal tidak ada orang yang melebihi kecerdasan beliau. Namun begitu, beliau tetap diperintahkan untuk bermusyawarah. Beliau meminta pendapat dari sahabat-sahabatnya dalam segala urusan, hingga dalam urusan kebutuhan rumah tangga sekalipun.
Source: Photo By Utsman Media From Unsplash
Ali Raḍiallāhu ‘Anhu berkata:
“Seseorang tidak akan celaka karena bermusyawarah”
Ada yang mengatakan, “(Lelaki itu ada tiga): lelaki sempurna, setengah lelaki dan (lelaki) bukan apa-apa. Lelaki yang sempurna adalah orang yang memiliki pendapat yang benar dan bermusyawarah. Setengah lelaki adalah orang yang memiliki pendapat yang benar tetapi tidak bermusyawarah, atau bermusyawarah tetapi tidak memiliki pendapat. Dan (lelaki) bukan apa-apa, adalah orang yang tidak memiliki pendapat dan tidak pula bermusyawarah.”
Ja’far Ash-Shadiq Raḍiallāhu ‘Anhu berkata kepada Sufyan Ats-Tsauri Raḥimahullāh, “Musyawarahkanlah persoalanmu kepada orang-orang yang takut kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā.
Menuntut ilmu merupakan suatu perkara yang paling tinggi dan paling sulit, sehingga memusyawarahlan persoalan ini menjadi lebih penting dan lebih wajib.
Al-Hakim Raḥimahullāh berkata, “Jika kamu pergi ke Bukhara, jangan terburu-buru untuk pergi (berguru) ke banyak imam. Cobalah tinggal di sana barang dua bulan; hingga kamu memikir-mikir dan memilih seorang guru. Sebab, jika kamu sudah pergi belajar kepada seorang alim, dan kamu langsung belajar kepadanya, bisa jadi kamu tidak tertarik dengan pelajarannya sehingga kamu meninggalkannya, dan pergi mencari (guru) yang lainnya, sehingga belajarmu tidak diberkahi.
Source: Photo By Madrosah Sunnah Unsplash
Pikir-pikirlah barang dua bulan untuk memilih seorang guru dan jangan lupa meminta pertimbangan supaya kamu tidak akan meninggalkannya, tidak berpaling darinya, dan kamu tetap di sisinya, sehingga belajarmu diberkahi, dan kamu benyak mengambil manfaat dari ilmumu. Ketahuilah bahwa kesabaran dan keteguhan adalah pondasi besar dalam segala urusan, tetapi ia sangatlah langka (seperti kata orang) pada diri seseorang:
Semuanya bergerak untuk menggapai cita-cita dan mengejar ketinggian
Namun yang langka pada diri seseorang adalah keteguhan.
Ada yang berkata:
“Keberanian adalah kesabaran sesaat”
Maka dari itu, seorang penuntut ilmu harus betah dan sabar terhadap gurunya dan dalam mempelajari kitab, supaya ia tidak meninggalkan gurunya sendirian. Selain itu, ia mesti betah dan sabar mempelajari satu bidang ilmu tertentu, tidak sibuk dengan bidang ilmu lainnya, sampai ia menguasai betul bidang ilmu yang pertama tadi. Ia juga mesti betah dan sabar tinggal di suatu negeri, tidak berpindah ke negeri lain tanpa ada keperluan penting. Sebab, semua itu dapat membuyarkan semua urusan, menyusahkan hati, membuang-buang waktu, dan menyakiti hati mu’allim, guru.
Seorang pelajar juga harus bisa menahan keinginan dan hawa nafsunya. Seorang penyair mengatakan:
Hawa nafsu adalah kehinaan itu sendiri
Orang yang jatuh ke dalam hawa nafsu artinya jatuh ke dalam kehinaan
Seorang penuntut ilmu juga harus mampu bersabar menghadapi berbagai ujian dan cobaan. Dikatakan:
“Perbendaharaan (simpanan) cita-cita itu terletak pada banyaknya ujian.”
Ada yang melantunkan syair kepadaku katanya itu adalah perkataan Ali bin Abi Thalib Raḍiallāhu ‘Anhu:
“Kamu tidak akan mendapatkan ilmu kecuali dengan enam perkara
Akan aku kabarkan kepadamu semuanya dengan jelas
Kecerdasan, ketamakan, kesabaran dan bekal (harta)
Arahan guru dan waktu yang panjang
Adapun dalam memilih kawan: pilihlah orang yang bersungguh-sungguh, wara’, memiliki tabiat yang lurus, mudah memahami, menjauhi sifat malas, suka menganggur, banyak bicara, suka merusak, dan suka memfitnah.
Seorang penyair berkata:
Tentang seseorang jangan kau tanya, cukup lihat siapa temannya
Karena seseorang itu mengikuti teman dekatnya
Jika temannya adalah orang yang buruk maka jauhilah segera
Jika ia orang yang baik maka dekatilah, maka kamu akan mendapat petunjuk
Dalam bait syair yang lain disebutkan:
Jangan kau kawani orang malas dalam semua keadaannya
Berapa banyak orang saleh rusak lantaran rusaknya orang lain
Penyakit bodoh cepat menular kepada orang yang kuat
Bak bara api yang ditaruh di atas abu, akan padam juga.
Source: Photo By Indonesi Bertauhid From Unsplash
DISINI
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah (Islam). Namun, kedua orang tuanya yang akan membuatnya menjadi yahudi, Nasrani atau Majusi.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Dikatakan dalam hikmah dengan bahasa Persia:
Teman yang jahat lebih buruk dan berbahaya daripada ular berbisa
Demi Allah, Zat yang Mahatinggi lagi Mahasuci
Teman yang jahat menyeretmu ke neraka Jahim
Teman yang baik mengajakmu ke surga Na’im
Ada yang mengatakan:
Jika Anda mencari ilmu dan ahlinya
Mencari saksi yang akan mengabarkan orang yang tidak ada
Maka ambillah pelajaran tentang isi bumi dari nama-namanya
Dan ambillah pelajaran tentang seseorang dari temannya.
Dikutip dari: Imam Az-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’allim fi Thariq At-Ta’allum. Edisi terjemah: Alih Bahasa Abdurrahman Azzam, Ta’limul Muta’alim Pentingnya Adab Sebelum Ilmu, (Solo: Aqwam, 2019), 55-64.
Thumbnail Source: Photo By Rachid Oucharia From Unsplash
Artikel Terkait:
Niat (Ketika Belajar)