Memulai Belajar, Ukuran, dan Urutannya Bagian I (Satu) – Guru kita Syekh Al-Imam Burhanuddin Raḥimahullāh menetapkan bahwa waktu untuk memulai belajar adalah pada hari Rabu. Dalam hal ini beliau meriwayatkan sebuah hadis, dan beliau menjadikannya dasar.
Beliau berkata bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda
“Tiada sesuatu yang dimulai pada hari rabu, melainkan akan menjadi sempurna.”
Dan seperti ini pula yang dijelaskan oleh Abu Hanifah Raḥimahullāh. Beliau juga meriwayatkan hadis di atas (dengan sanadnya) dari guru beliau Syekh Al-Imam Qawammuddin bin Abdur Rasyid Raḥimahullāh.
Saya mendengar dari seseorang yang saya percayai bahwa Syekh Al-Imam Yusuf Al-Hamdani Raḥimahullāh juga menepatkan semua amalan baik pada hari Rabu. Dan ini ada riwayatnya. Karenapada hari Rabu itu Allah menciptakan cahaya, dan hari itu merupakan hari sial bagi orang kafir, sehingga hari itu menjadi diberkahi bagi orang mukmin.
Source: Photo By Muhammad Adil From Unsplash
Standar Belajar Ketika Baru Memulai Belajar
Abu Hanifah Raḥimahullāh meriwayatkan dari Syekh Al-Qadhi Al-Imam Umar bin Abu Bakar Az-Zaranjariy Raḥimahullāh bahwa ia berkata, “Guru-guru kami mengatakan, ‘Sebaiknya standar bagi orang yang baru mulai belajar adalah sekira ia mempu memahami (pelajaran) dengan mengulangi dua kali. Kemudian menambahkan satu kata (sedikit demi sedikit) setiap hari, bahkan meskipun (pelajarannya) panjang dan banyak sekalipun, ia masih mampu memahami dengann mengulangi dua kali. Disamping itu, ia harus bersikap bijak dan bertahap dalam belajar. Namun, apabila pelajaran pertama yang dikaji itu terlalu panjang sehingga seorang pelajar memerlukan pengulangan materi hingga 10 kali, maka untuk seterusnya sampai yang terakhir pun harus seperti itu. Sebab, hal itu akan menjadi kebiasaannya, dan jangan sampai ia tinggalkan kebiasaan itu kecuali jika terlalu payah.”
Dikatakan:
“Pelajaran baru satu huruf, pengulangannya seribu kali.”
Sebaiknya, seorang penuntut ilmu memulai belajar dari ilmu-ilmu yang paling mudah dipahami. Syekh Al-Islam Al-Ustadz Syarafuddin Al-‘Uqaili Raḥimahullāh berkata, “Menurut hemat saya, yang benar dalam masalah ini adalah seperti yang telah dipraktikan oleh para guru kita Raḥimahullāh. Untuk murid-murid baru, mereka memilihkan kitab-kitab yang kecil dan ringkas karena hal itu akan lebih mudah dipahami dan dihafalkan. Tidak membosankan dan banyak dipraktikan di masyarakat.
Seyogiyanya seorang muta’alim membuat catatan sendiri mengenai pelajaran-pelajaran yang sudah diajarkan, setelah dihafal dan diulang-ulang karena cara itu akan sangat bermanfaat. Selain itu, seorang muta’alim jangan sampai menulis sesuatu yang tidak ia pahami karena hal ini akan melemahkan karakter, menghilangkan kecerdasan, dan membuang-buang waktu.
Seorang muta’alim harus bersungguh-sungguh untuk memahami pelajaran dari sang guru, yakni dengan cara merenungkan, memikirkan dan sering mnegulang-ulangnya. Sebab, apabila pelajaran yang baru itu masih sedikit, sering diulang-ulang, dan direnungkan maka akan dapat dimengerti dan dipahami.
Dikatakan: “Menghafal dua huruf (kata) lebih baik daripada mendengarkan dua beban berat (dari buku tanpa menghafalnya). Dan memahami dua huruf (kata) lebih baik daripada menghafal dua beban berat (dari buku).
Apabila seorang muta’alim pernah mengabaikan pemahaman, dan tidak mau berusaha satu atau dua kali, maka itu akan menjajdi kebiasaan, dan ia pun tidak bisa memahami kalimat yang mudah sekalipun. Maka dari itu, hendaknya (ia tidak mengabaikan pemahaman), akan tetapi ia harus bersungguh-sungguh memahaminya, lalu memanjatkan doa kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā, khusyuk dan tunduk kepada-Nya karena Allah pasti akan mengabulkan doa orang yang memohon kepada-Nya, dan tidak mengabaikan orang yang berharap kepada-Nya.
Source: Photo By Masjid Pogung Dalangan From Unsplash
Syair Al-Qadhi Al-Khalil As-Sarkhasi Raḥimahullāh disampaikan kepada kami oleh guru kami Syekh Al-Imam Qawamuddin Hammad bin Ibrahim bin Isma’il As-Shafari Al-Anshari Raḥimahullāh berikut:
Layanilah ilmu seperti pelayan dari orang yang mengharap
Teruslah belajar dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji
Bila kamu telah menghafal suatu ilmu maka ulangilah
Kemudian perkuatlah dengan sekuat-kuatnya
Lalu berikan catatan agar kamu bisa melihatnya kembali
Dan kamu bisa mempelajarinya selamanya
Jika kamu sudah yakin tak kan lupa
Maka setelah itu bersegeralah untuk memperoleh ilmu yang baru
Sembari terus mengulang-ulangnya dan
berusaha memiliki tambahan ilmu baru itu
Peringatkan manusia dengan (mengajarkan) ilmu (kepada mereka), agar mereka hidup (abadi)
Jangan menjauh dari orang-orang yang berakal
Bila ilmu kamu sembunyikan, kelak di hari kiamat kamu dikalungi dengan api
Dan kamu akan di azab dengan azab yang keras.
Seorang pelajar seharusnya melakukan mudzakarah (tukar pengetahuan), munazharah (beradu argumen) dan muthaharah (diskusi). Hal ini dilakukan dengan (tidak berlebihan), tidak tergesa-gesa, dan penuh penghayatan. Di sisi lain, ia harus menghindari keributan dan kemarahan, karena munazharah dan mudzakarah adalah semacam musyawarah, dan musyawarah itu sendiri dimaksudkan untuk mencari kebenaran. Oleh sebab itu, harus dilakukan dengan penghayatan, tidak tergesa-gesa, dan inshaf, adil. Dan semua itu tidak akan berhasil apabila dicampuri dengan kemarahan dan keributan (pertikaian).
Apabila di dalam pembahasan itu dimaksudkan untuk sekedar mengobarkan pertikaian dan ingin mengalahkan lawan, maka hal itu tidak diperbolehkan menurut agama. Diskusi yang diperbolehkan adalah dalam rangka mencari kebenaran.
Bicara berbelit-belit dan membuat alasan itu tidak diperkenankan, kecuali jika musuh bicaranya berbelit-belit dan tidak dalam rangka mencari kebenaran.
Apabila ditanyakan suatu persoalan kepada Muhammad bin Yahya, yang beliau sendiri belum menemukan jawabannya, maka beliau berkata, “Pertanyaan yang muncul harus dicari jawabannya. Dan aku akan memikirkannya. Di atas orang berilmu, masih ada yang lebih berilmu.”
Source: Photo By Masjid Pogung Dalangan From Unsplash
Faedah dari muthaharah dan munazharah itu jelas lebih besar daripada sekadar mengulang pelajaran (tikrar). Sebab, disamping mengulang pelajaran, hal itu juga menambah pengetahuan yang baru. Ada yang mengatakan, “Melakukan muthaharah sebentar itu lebih bagus daripada mengulang pelajaran sebulan.” Sudah tentu jika muthaharah (diskusi) itu dilakukan dengan orang yang inshaf dan bertabiat lurus.
Hindari berdiskusi (berdebat) dengan orang yang sekedar mencari menang dalam pembicaraan semata, orang yang tidak bertabiat lurus. Sebab tabiat itu suka merampas dan berubah-ubah, akhlak mudah menular, dan perkumpulan itu sangat besar pengaruhnya.
Syair yang dibawakan oleh Al-Khalil bin Ahmad Raḥimahullāh ada banyak faedahnya, dikatakan:
Di antara persyaratan ilmu bagi orang yang melayaninya adalah menjadikan seluruh manusia agar melayaninya.
Seorang pelaar hendakna merenungkan dan memikirkan detail-detail ilmu sepanjang waktu, dan membiasakan hal itu. Sebab, detail-detail ilmu itu dapat diperolah dengan merenung. Karena itu, orang berkata:
“Merenunglah, kau pasti akan paham.”
Seorang penuntut ilmu harus berpikir sebelum berbbicara agar bicaranya benar. Ucapan itu laksana anak panah, maka harus diluruskan terlebih dahulu dengan memikirkannya sebelum diucapkan supaya tepat.
Dalam ushul fiqih dikatakan bahwa berpikir sebelum bicara adalah dasar yang amat penting. Maksudnya, ucapan seorang fakih dan munazhir (ahli munazharah) harus dengan penuh perenungan.
Dikatakan:
Puncak akal adalah perkaraan harus diucapkan dengan penuh kehati-hatian dan disertai perenungan.
Seorang berkata:
Kunasihatkan kepadamu untuk menata ucapan dengan lima perkara
Jika engkau patuh kepada pemberi nasihat yang tulus
Yaitu, jangan sampai lupa apa sebab perkataan dan kapan waktunya
bagaimana caranya, berapa panjangnya, dan dimana tempatnya, itulah semuanya
Dikutip dari: Imam Az-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’allim fi Thariq At-Ta’allum. Edisi terjemah: Alih Bahasa Abdurrahman Azzam, Ta’limul Muta’alim Pentingnya Adab Sebelum Ilmu, (Solo: Aqwam, 2019), 99-107
Thumbnail Source: Photo By Pok Rie From Pexels
Artikel Terkait:
Memulai Belajar, Ukuran, dan Urutannya Bagian II
#adab penuntut ilmu #adab sebelum ilmu #adab-adab penuntut ilmu #akhlak penuntut ilmu #faidah belajar ilmu #ilmu sebelum amal #keutamaan adab #keutamaan belajar #keutamaan menuntut ilmu #manfaat ilmu #pentindnya adab #urutan ilmu