Memulai Belajar, Ukuran, dan Urutannya Bagian II (Dua) – Seorang penuntut ilmu juga harus bisa mengambil pelajaran dalam semua keadaan, waktu dan dari siapapun. Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Hikmah itu barang hilangnya orang mukmin, di mana pun ia menemukannya hendaknya ia mengambilnya.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majah)
Dikatakan:
“Ambillah yang jernih (dari pelajaran yang kamu peroleh) bagimu dan tinggalkanlah yang keruh.”
Saya mendengar Syekh Al-Imam Ustadz fakhrudin Raḥimahullāh berkata, “Adalah jariyah (budak perempuan) Abu yusuf menjadi amanah buat Muhammad, lalu Muhammad bertanya kepadanya, ‘Adakah (sekarang) saudari masih hafal sedikit tentang fikih dari Abu Yusuf?’ Jawabnya, ‘Tidak Tuan’. Hanya saja, ia sering mengulang-ulang suatu perkataan, ‘Sahmuddauri saqitun (Saham daur itu gugur, tak dapat bagian)’. Dengan itu Muhammad menjadi hafal darinya, yang tadinya permasalahan saham daur terasa sulit bagi muhammad, dengan kalimat itu masalah terpecahkan. Dengan begitu dapat diketahui bahwa pelajaran bisa diambil dari siapa saja.”
Oleh karena itu, ketika ditanyakan kepada Abu Yusuf Raḥimahullāh, “Dengan apa tuan memperoleh ilmu?” Beliau menjawab, “Saya tidak merasa malu mengambil faedah (pelajaran) dan tidak kikir memberi faedah (pelajaran).” Ditanyakan kepada Ibnu Abbas Raḥimahullāh, “Dengan apa tuan mendapat ilmu?” Beliau menjawab, “Dengan lisan yang banyak bertanya dan hati yang selalu berpikir.”
Adanya penuntut ilmu digelari dengan “Ma Taqulu” (Bagaimana pendapatmu) karena pada masa dahulu orang-orang mengatakan kepada mereka “Bagaimana pendapat Anda dalam masalah ini?”
Source: Photo By Chanikarn Thongsupa From Rawpixel
Abu Hanifah Raḥimahullāh menjadi seorang fakih karena sering ber-muthaharah dan ber-mudzakarah di tokonya ketika beliau menjadi pedagang pakaian. Melihat realita tersebut, dapat kita ketahui bahwa menuntut ilmu dan fikih itu bisa dilakukan bersamaan dengan bekerja. Abu Hafsh Al-Kabir Raḥimahullāh sendiri bekerja sambil mengulang-ulang pelajarannya.
Oleh karena itu, apabila seorang penuntut ilmu juga harus mencari nafkah untuk keluarga dan segenap tanggungannya, bisalah sekiranya sambil bekerja itu, ia mengulang sendiri dan mengingat-ingat pelajarannya. Tidak boleh malas. Orang yang diberi kesehatan jasmani dan pikirannya, tidak ada alasan untuk tidak belajar dan tafaquh, karena ia tidaklah lebih melarat dari Abu Yusuf Raḥimahullāh, yang mana keadaannya itu tidak pernah menghalanginya untuk ber-tafaquh. Apabila seorang ditakdirkan kaya raya, maka sebaik-baik harta yang baik itu bila dimiliki oleh orang baik (saleh).
Ditanyakan kepada seorang alim, “Dengan apa Tuan mendapatkan ilmu?” Ia menjawab, “Dengan ayahku yang kaya. Dengan kekayaan itu beliau berbuat ihsan kepada ahli ilmu dan ahli keutamaan.” Hal itu yang menyebabkan bertambahnya ilmu, (karena ia berarti mensyukuri nikmat akal dan ilmu).
Dikatakan bahwa Abu Hanifah Raḥimahullāh berkata, “Aku mendapatkan ilmu dengan mengucap hamdalah dan bersyukur. Setiap aku berhasil memahami fikih dan hikmah, selalu kuucapkan Alhamdulillah (segala puji bagi Allah) Subḥānahu Wa Ta’ālā. Dengan cara itu, bertambahlah ilmuku.
Demikianlah, seorang penuntut ilmu harus menyatakan syukurnya dengan lisan, hati, badan dan juga hartanya. Menyadari bahwa kepemahaman, ilmu, dan taufik itu semuanya datangnya dari Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā. Selain itu, ia juga harus selalu memohon hidayah-Nya dengan doa dan tunduk khusyuk kepada-Nya, karena hanya Dialah yang memberikan hidayah kepada siapa saja yang memohon. Ahlul-haq (yaitu ahlusunnah wal jamaah) selalu mencari kebenaran dari Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā yang Maha Benar, Pemberi Petunjuk, dan Pemelihara, maka Allah memberikan petunjuk kepada mereka dan melindungi mereka dari jalan yang sesat.
Sementara ahli dhalalah (orang-orang sesat) selalu membanggakan pendapat dan akalnya sendiri. Mereka mencari kebenaran dri makhluk yang lemah, yaitu akal. Karena akal tidak mampu mengetahui segala sesuatu, (seperti pandangan mata yang tidak mampu melihat semua hal). Mereka terhalang (dari kebenaran), lemah, sesat, dan menyesatkan.
Source: Photo By Chanikarn Thongsupa From Rawpixel
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Orang lalai adalah orang yang mengamalkan kelalaiannya, dan orang berakal adalah orang yang beramal dengan akalnya.”
Adapun “beramal dengan akal” itu, pertama: menyadari kelemahan dirinya (dalam mengetahui kebenaran).
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Siapa yang mengetahui dirinya sendiri, maka ia telah mengetahui Rabb-Nya.”
Apabila sudah mengetahui akan kelemahan dirinya, mka ia akan mengetahui kekuasaan Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā. Karena itu, ia tidak akan bersandar kepada diri dan akalnya sendiri, tetapi ia akan bertawakal kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā, dan mencari (kebenaran dari-Nya). Siapa yang bertawakal kepada Allah, maka akan dicukupinya.”
“Dan barang siapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3)
Maka dari itu, siapa yang diberi harta janganlah kikir, dan hendaknya ia memohon perlindungan kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā agar tidak kikir. Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Penyakit apakah yang lebih parah dari sifat kikir?”
Ayahnya Syekh Al-Imam Syamsu Al-Aimmah Al-Hulwaniy adalah seorang fakir, penjual manisan. Ayahnya menghadiahkan beberapa manisan tersebut kepada para fuqaha dan berkata, “Kumohon tuan mendoakan putraku.” Lantaran berkah dari kedermawanannya, keyakinannya, dan ketundukannya (kepada Allah) itu maka sang putra berhasil meraih apa yang telah ia raih (kesuksesan).
Seyogiyanya seorang thalabul ilmi membelli kitab dengan hartanya (sendiri) dan mendiktekan (ilmu) sehingga hal itu akan memudahkannya dalam belajar dan bertafaquh.
Muhammad bin Al-Hasan Raḥimahullāh adalah orang yang memiliki banyak harta, yang mempunyai 300 pegawai untuk mengurusi kekayaannya, maka ia membelanjakan semua kekayaannya demi ilmu dan fikih, sehingga tidak tertinggal satu pakaian pun yang bagus. Lalu Abu Yusuf melihatnya mengenakan pakaian yang telah usang, maka tidak berkenan menerimanya dan berkata. “Disegerakan untuk kalian, dan diakhirkan untuk kami (di akhirat saja).” Bisa jadi beliau tidak mea (menerimanya) sekalipun menerima hadiah itu hukumnya sunah karena beliau memandang hal itu dapat mencemarkan bagi dirinya.
Source: Photo By Chanikarn Thongsupa From Rawpixel
Dalam hal ini Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tidaklah seorang mukmin itu mrnghinakan dirinya sendiri” (HR. At-Tirmidzi)
Diceritakan bahwa (Asy-Syekh Al-Imam) Fakhru Al-Islam Al-Arsabandiy Raḥimahullāh mengumpulkan kulit-kulit semangka yang telah dibuang di tempat-tempat sepi, dan memakannya. Rupanya ada seorang jariyah (budak perempuan) yang melihatnya, lalu ia melaporkan hal itu kepada tuannya. Lalu (tuan itu) menyiapkan untuknya suatu jamuan dan mengundang Fakhru Al-Islam untuk hadir. Namun, beliau tidak berkenan menghadiri jamuan tersebut (demi menjaga diri).
Demikianlah, para pelajar hendaknya memiliki cita-cita yang luhur, tidak tamak mengharapkan harta orang lain. Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Jauhilah sifat tamak, karena ia adalah kemiskinan yang hadir.” (HR. Ath-Thabrani)
Seorang penuntut ilmu juga tidak boleh kikir terhadap hartanya, bahkan ia harus membelanjakan hartanya untuk keperluan dirinya sendiri dan orang lain.
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Semua orang dalam keadaan melarat karena takut melarat.”
Pada zaman dahulu, orang-orang belajar bekerja kemudian baru belajar ilmu sehingga mereka tidak tamak terhadap harta orang lain. Dalam kata-kata bijak disebutkan:
Siapa yang mencukupi diri dengan harta orang lain, berarti dia telah melarat.
Jika seorang alim bersifat tamak maka hilanglah kehormatan ilmunya, dan ia akan kelu untuk mengucapkan kebenaran. Oleh karena itu, Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam sang pembawa syariat berlindung diri dari hal itu beliau berdoa:
“Aku berlindung kepada Allah dari sifat tamak yang membawa kepada kehinaan.”
Seyogiyanya seorang mukmin tidak berharap kecuali hanya kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā, dan tidak takut kecuali hanya kepada-Nya. Sikap tersebut akan tampak dengan ada atau tidaknya sikap melampaui batas-batas syariat.
Jadi, siapa yang bermaksiat kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā karena takut kepada makhluk, berarti ia takut kepada selain Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā, tapi apabila ia tidak bermaksiat kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā karena takut kepada makhluk dan tetap memperhatikan batasan-batasan syariat, maka tidak bisa dianggap telah takut kepada selain Allah, (tetapi ia takut kepada Allah). Begitu pula dalam masalah raja’ (berharap kepada Allah).
Seorang penuntut ilmu hendaknya mempersiapkan dan menentukan untuk dirinya, berapa banyak ia harus melakukan tikrar, mengulang pelajaran. Sesungguhnya ilmu tidak akan bisa tertanam di dalam hati dengan baik sampai tikrar dilakukan mencapai jumlah yang telah ditetapkan.
Photo By Muhammadtaha Ibrahim Maaji Pexels
Seorang penuntut ilmu sebaiknya mngulangi pelajaran (dengan metode) seperti berikut: pelajaran kemarin diulang 5 kali; pelajaran dua hari yang lalu diulang 4 kali; pelajaran sebelumnya diulang 3 kali; dan pelajaran sebelumnya lagi diulang 2 kali; dan pelajaran sebelumnya lagi diulang 1 kali. Metode ini sangat memudahkan penuntut ilmu dalam tikrar (mengulang pelajaran) dan menghafal.
Seyogiyanya seorang thalibul ilmu tidak membiasakan tikrar dengan suara yang pelan. Karena pelajaran dan pengulangan harus dengan suara yang kuat dan dengan penuh semangat. Namun, juga tidak terlalu keras dan memberatkan diri, supaya tidak berhenti mengulang pelajaran. Bukankah sebaik-baik persoalan adalah (pertengahannya).
Diceritakan, bahwa suatu saat Abu Yusuf Raḥimahullāh sedang mengikuti mudzakarah fikih bersama para fuqaha yang laun dengan suara kuat dan penuh semangat. Saat itu iparnya ada disitu, dan dengan rasa heran iparnya berkata, “Saya tahu Abu Yusuf telah lima hari kelaparan, tapi dengan kondisi seperti ini, ia tetap melakukan munazharah dengan suara keras dan penuh semangat.
Seorang penuntut ilmu tidak boleh surut dalam belajar karena hal itu merupakan bencana. Guru kami, Syekh Imam Burhanuddin Raḥimahullāh pernah mengatakan, “Aku dapat mengungguli” teman-temanku karena aku tidak pernah futur (surut) dan bimbang dalam belajar.
Dikisahkan bahwa Syekh Al-Imam Ali Al-Asbijabiy dalam masa belajarnya mengalami futur selama 12 tahun lantaran pergantian penguasa. Lalu beliau pergi bersama seorang sahabatnya untuk mengadakan munazharah setiap hari dan tidak pernah meninggalkan munazharah. Keduanya duduk bermunazharah selama 12 tahun. Akhirnya, sahabatnya tadi menjadi Syekhul Islam dalam mazhab Syafi’I Raḥimahullāh, dan beliau sebelumnya memang bermazhab Syafi’i.
Guru kami, Syekh Al-Imam Fakhruddin Qadhi Khan Raḥimahullāh berkata, “Bagi pelajar (ilmu) fikih hendaknya menghafal satu kitab dari kitab-kitab fikih yang ada, dan terus mengulang-ulanginya. Setelah itu, ia akan mudah menghafal apa yang ia dengar tentang ilmu fikih.
Dikutip dari: Imam Az-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’allim fi Thariq At-Ta’allum. Edisi terjemah: Alih Bahasa Abdurrahman Azzam, Ta’limul Muta’alim Pentingnya Adab Sebelum Ilmu, (Solo: Aqwam, 2019), 108-119.
Thumbnail Source: Photo By Chanikarn Thongsupa From Rawpixel
Artikel Terkait:
Giat, Rajin dan Semangat