Bekerjanya seorang muslim untuk mengabdi atau melayani orang kafir adalah haram, karena hal itu berarti penguasaan orang kafir atas orang muslim serta penghinaannya. Adapun pekerjaan seorang muslim kepada orang kafir yang tidak bersifat melayani, seperti menjahit atau membangun tembok dan sebagainya dari setiap pekerjaan yang ada dalam tanggungannya, maka hal ini diperbolehkan karena tidak ada unsur penghinaan.
Dalam hadis disebutkan bahwa,
“Khabbab pernah bekerja untuk Al-‘Ash bin Wa’il di Makkah sedang Nabi mengetahuinya dan beliau pun menyetujuinya.” (HR. Bukhari)
Hal ini menunjukkan dibolehkannya pekerjaan serupa ini, karena ia merupakan akad tukar-menukar seperti halnya jual beli, tidak mengandung penghinaan terhadap muslim. Tidak menjadikannya sebagai abdi dan tidak bertentangan dengan sifat bara’nya dari mereka dan dari agama mereka.
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā mewajibkan hijrah dari negara kafir menuju negara muslim dan mengancam siapa yang tidak mau berhijrah tanpa uzur syar’i. Dia juga mengharamkan seorang muslim bepergian ke negara kafir, kecuali karena alasan syar’i dan mampu menunjukkan keislamannya, kemudian jika selesai tujuannya maka ia harus segera kembali ke negara Islam.
Orang yang tidak boleh menetap di negara kafir adalah orang yang mampu berhijrah dan ia tidak mampu menampakkan agamanya.
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ تَوَفَّاهُمُ الْمَلَائِكَةُ ظَالِمِي أَنْفُسِهِمْ قَالُوا فِيمَ كُنْتُمْ قَالُوا كُنَّا مُسْتَضْعَفِينَ فِي الْأَرْضِ قَالُوا أَلَمْ تَكُنْ أَرْضُ اللَّهِ وَاسِعَةً فَتُهَاجِرُوا فِيهَا فَأُولَئِكَ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ وَسَاءَتْ مَصِيرًا (97)
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya, ‘Dalam keadaan bagaimana kamu ini?’ Mereka menjawab, “Adalah kami orang-orang yang tertindah di negeri Mekah.’ Para malaikat berkata, ‘Bukankah bumi Allah itu luas sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?’ Orang-orang itu tempatnya di neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. An-Nisa: 97)
Orang yang mengutamakan tinggal di negara kafir daripada di negara muslim memiliki dua keadaan:
Jika ia berpendapat atas bolehnya memberikan loyalitas kepada orang-orang kafir dan ridha atas mereka, maka tidak ragu lagi bahwa ia telah keluar dari Islam.
Jika hal itu dilakukan karena tamak atau karena ingin kesejahteraan di negara orang-orang kafir, sedangkan ia membenci agama mereka dan menjaga agamanya, maka ini hukumnya haram.
Hidupnya dikhawatirkan berakhir dengan buruk karena ia menjadi ridha kepada agama mereka.
Dikutip dari: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid Kitabut Tauhid lis-Shaff Al-Awwal – Ats-Tsalis – Al-Aly. Edisi terjemah: Alih Bahasa Syahirul Alim Al-Adib, Lc., Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2018), 133-135.
Thumbnail Source: Photo by Artur Aldy Unsplash
Artikel Terkait:
Iman Kepada Allah