Dr. Ade Wahidin, Lc., M.Pd.I.
Pengasuh Bina Qurani Islamic School
Indonesia adalah negara yang cukup heterogen penduduknya baik dari sisi agama, suku, ras, dan antar golongan (SARA). Dari sisi agama, mayoritas penduduk Indonesia menganut agama Islam. Negara di Asia Tenggara ini disebut sebagai tanah dengan populasi Muslim tertinggi di seluruh dunia. Persentase Muslim Indonesia mencapai hingga 12,7 persen dari populasi dunia. Dari 205 juta penduduk Indonesia, dilaporkan sedikitnya 88,1 persen beragama Islam. (republika.co.id, 2015).
Secara filosofis, masalah iman merupakan masalah yang cukup fundamental dalam struktur bangunan Islam sebagai agama wahyu. Banyak sekali ayat dalam Alquran dan Hadis Nabi Muhammad Ṣallallāhū ‘alaihi wasallam yang menjelaskan tentang konsepsi iman. Misalnya di awal-awal surat Al-Baqarah, ketika menjelaskan manusia yang bertakwa maka Allah menyebutkan karakter beriman kepada yang gaib sebagai karakteristik manusia bertakwa yang pertama. Allah berfirman,
هُدًى لِلْمُتَّقِينَ (2) الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ
“Alquran itu sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa (2) yaitu orang-orang yang beriman kepada yang gaib.” (QS. Al-Baqarah [02]: 2-3)
Bahkan dalam riwayat Muslim dari jalur Umar ibn al-Khaṭṭāb disebutkan bahwa intisari agama Islam itu berkisar antara rukun islam, rukun iman, dan ihsan. Nabi Muhammad Ṣallallāhū ‘alaihi wasallam dalam hal ini menjawab pertanyaan malaikat Jibril tentang hakikat iman dengan redaksi berikut:
أَنْ تُؤْمِنَ بِاللَّهِ وَمَلاَئِكَتِهِ وَكُتُبِهِ وَرُسُلِهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ وَتُؤْمِنَ بِالْقَدَرِ خَيْرِهِ وَشَرِّهِ
“Engkau beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, hari kiamat, dan engkau beriman kepada takdir baik dan buruknya.” (HR. Muslim).
Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa iman merupakan salah satu inti bangunan ajaran Islam. Bahkan, tidak mungkin ada seseorang yang mengaku muslim atau muslimah tetapi ia tidak beriman.
Kaitannya dengan tujuan pendidikan nasional maka sebagaimana diketahui salah satu tujuannya adalah membentuk manusia Indonesia yang beriman (UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional). Masalahnya adalah secara redaksional memang membentuk manusia Indonesia beriman ini ‘sepertinya’ tidak menjadi landasan utama tujuan pendidikan nasional yang pada gilirannya cukup mempengaruhi skala prioritas dalam penentuan standar kurikulum, standar sarana prasarana, kualifikasi SDM baik pendidik maupun kependidikan, dan lain sebagainya. Hal ini berimbas pada kualitas output pendidikan yang masih jauh dari karakter keimanan.
Pada dasarnya, karakter iman sebagai prioritas dalam tujuan pendidikan nasional bahkan menjadi landasan utama bagi tujuan-tujuan lainnya adalah hal yang wajib jika mengacu kepada Pancasila di mana sila pertamanya adalah terkait dengan keimanan, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan demikian, ada singkronisasi filosofis antara Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dengan tujuan pendidikan nasional dalam UU Sisdiknas yang merupakan turunan dari Pancasila.
Oleh karena itu, redaksi yang dipilih dalam tujuan pendidikan nasional seharusnya adalah “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, yang sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.” Bukan “Pendidikan nasional bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab (Pasal 3 UU 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional)
Pemilihan redaksi sebagaimana di atas yaitu menempatkan kata ‘yang’ setelah kata ‘berakhlak mulia’ bukan sebelum kata ‘beriman’ memajukan beberapa kesimpulan utama, di antaranya adalah:
Pertama, adanya singkronisasi filosofis antara Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan ‘Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa’ dan Pancasila di sila pertama yaitu ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ yang kapasitasnya sebagai landasan dari UU Sisdiknas tersebut.
Kedua, mengingatkan kembali kepada para stake holder tentang ‘beriman’ ini merupakan landasan utama tujuan pendidikan nasional sehingga seluruh kebijakan yang diambil baik terkait struktur kurikulum, regulasi SDM dan sarana prasarana, dan lain sebagainya maka semuanya mengacu pada terwujudnya manusia Indonesia beriman.
Ketiga, menegaskan bahwa Indonesia ini merupakan negara agama sehingga dengan ‘beriman’ sebagai tujuan utama dan prioritas dalam pendidikan tidak memberikan ruang sedikitpun kepada aliran dan isme-isme yang anti agama. Dengan demikian tidak cocok paham sekularisme hidup di Indonesia karena habitatnya yang memisahkan agama dengan kehidupan. Demikian pula tidak cocok paham liberalisme tumbuh di Indonesia yang hereditasnya memberikan kebebasan tanpa batas dalam segala hal. Begitu juga paham komunisme yang tidak bertuhan, sudah seharusnya ia lenyap dari Indonesia karena tidak singkron dengan UUD 1945, Pancasila, dan UU Sisdiknas No. 20 tahun 2003.
Berdasarkan uraian tersebut, walaupun sepertinya tidak mudah dirubah peletakan kata ‘yang’ dari sebelum kata ‘beriman’ menjadi setelah kata ‘berakhlak mulia’ tetapi setidaknya para pemangku kebijakan di negeri ini masih menekankan pentingnya nilai-nilai agama. Oleh karena itu, di samping regulasi ini merupakan landasan dalam menyelenggarakan pendidikan sebagai warga negara Indonesia, umat Islam sudah semestinya menggunakan regulasi ini sebagai salah satu motivasi untuk menyelenggarakan pendidikan Islam terbaik yang menekankan lahirnya lulusan-lulusan yang kokoh keimanannya dan kompetitif dalam skill dan pengetahuan umunya.
#Ade Wahidin #beriman #pendidikan nasional #Tujuan Pendidikan