Niat (Ketika Belajar) – Seorang muslim wajib memiliki niat ketika belajar, karena niat merupakan dasar dari semua perbuatan. Hal ini berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam:
إِنَّمَا الْأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“Sesungguhnya amal-amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang akan memperoleh apa yang diniatkannya.” (HR. Bukhari)
Berapa banyak amalan yang terlihat sebagai amalan dunia, lalu menjadi amal akhirat karena niat yang baik. Dan berapa banyak amalan terlihat sebagai amalan akhirat, lalu menjadi amalan dunia karena niat yang buruk.
Semestinya seorang pelajar berniat menuntut ilmu karena mencari ridha Allah dan kehidupan akhirat, serta menghapus kebodohan dari dirinya dan dari segenap orang-orang bodoh, menghidupkan agama dan melanggengkan Islam. Sebab, kelanggengan Islam adalah dengan ilmu.
Source: Photo From Freepik
Zuhud dan takwa tidak akan benar jika dibarengi dengan kebodohan.
Asy-Syekh Al-Imam Burhanuddin, pengarang Al-Hidayah, berkata:
Kerusakan besar muncul dari seorang ‘alim yang tidak punya malu
Lebih rusak lagi seorang bodoh yang ahli ibadah
Keduanya adalah fitnah besar di dunia ini.
(Yakni) bagi orang-orang yang mengikutinya dalam urusan agama.
Selain itu, seorang pelajar hendaknya berniat mensyukuri nikmat akal, kesehatan badan; dan bukan berniat supaya manusia menerimanya, dan bukan pula untuk mencari kenikmatan dunia, kehormatan di hadapan Sultan dan selainnya.
Dan Muhammad bin Al-Hasan Raḥimahullāh berkata, “Andai semua manusia adalah budakku, niscaya aku merdekakan mereka semua, dan aku bebaskan kepemilikanku atas mereka. Siapa yang telah merasakan manisnya ilmu dan amal, tidak mungkin ia menginginkan apa (dunia) yang dimiliki manusia.”
Source: Photo By Madrosah Sunnah From Unsplash
Syekh Al-Imam Al-Ustadz Qawammudin Hammad bin Ibrahim bin Ismail Ash-Shafari Al-Anshari menuliskan syair untuk kami yang dinisbatkan kepada Abu Hanifah Raḥimahullāh:
Siapa yang menuntut ilmu untuk negeri akhirat
Ia akan meraih keutamaan dari Ar-Rasyad (Allah)
Duhai, betapa meruginya orang-orang yang mencari ilmu
Karena ingin mendaptkan pujian dari manusia
Kecuali jika ia mengharapkan kehidupan untuk amar ma’ruf dan nahi munkar, untuk memperjuangkan kebenaran, untuk meluhurkan agama bukan untuk kepentingannya sendiri dan hawa nafsunya, maka hal itu diperbolehkan sebatas ia dapat menegakkan amar ma’ruf dan nahi munkar.
Seyogianya seorang penuntut ilmu memperhatikan hal itu. Sebab, ia telah mempelajari ilmu dengan susah payah, maka jangan sampai ia palingkan semua itu hanya untuk kepentingan dunia (yang hida, sedikit, dan fana). Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Hati-hatilah terhadap dunia, demi Dzat yang jiwa Muhammad di tangan-Nya, sesungguhnya ia lebih bisa menyihir daripada harut dan Marut.” (HR. At-Tirmidzi)
Itulah dunia, ia lebih sedikit dari yang sedikit
Pendambanya lebih hina dari yang hina
Orang-orang menjadi tuli dan buta karena sihirnya
Mereka bingung tanpa pemandu
Seyogianya seorang ahli ilmu tidak menghinakan diri dengan bersikap tamak terhadap hal yang tidak pantas untuk ditamaki, dan menjaga hal-hal yang dapat merendahkan ilmu dan pemiliknya. Selain itu, hendaknya ia bersikap tawadhu’. Tawadhu adalah bersikap antara sombong dan hina. Juga harus bersikap ‘iffah (menjaga diri).
Source: Photo By Freepik
Syekh Al-Imam Al-Ustadz Ruknuddin yang terkenal dengan julukan al-adib al-mukhtar Raḥimahullāh melantunkan bait syair kepadaku yang ia gubah sendiri:
Tawadhu itu sifat orang bertakwa
Dengannya ia menaiki derajat yang tinggi
Mengherankan, ujub-nya orang yang tidak tahu keadaannya
Apakah ia bahagia atau sengsara
Ataukah bagaimana ia akan menutuo usia ruhnya
Apakah di derajat yang rendah ataukah yang tinggi?
Kesombonfan adalah sifat yang khusus disandang oleh Rabb kita
Jauhilah ia, dan waspadalah!
Abu Hanifah Raḥimahullāh berkata kepada murid-muridnya, “Besarkanlah ‘Imamah (surban) kalian, dan longgarkanlah lengan baju kalian!” Beliau mengatakan hal itu supaya ilmu dan ahlinya tidak direndahkan.
Seyogiyanya seorang penuntut ilmu membaca kitab Al-Washiyyah yang ditulis oleh Abu Hanifah Raḥimahullāh untuk Yusuf bin Khalid As-Simti Raḥimahullāh ketika pulang kepada keluarganya, dan ada orang yang sedang mencarinya. Guru kami Syekhul Islam Burhanuddin Ali bin Abu Bakar dan para imam yang lainnya memerintahkan kepadaku supaya menulisnya ketika aku pulang ke negeriku, lalu aku menulisnya. Oleh karena itu, seorang guru dan mufti harus berinteraksi dengan masyarakat.
Dikutip dari: Imam Az-Zarnuji, Ta’lim Al-Muta’allim fi Thariq At-Ta’allum. Edisi terjemah: Alih Bahasa Abdurrahman Azzam, Ta’limul Muta’alim Pentingnya Adab Sebelum Ilmu, (Solo: Aqwam, 2019), 47-54.
Artikel Terkait:
Definisi Ilmu, Fikih, dan Keutamaannya