Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Panduan Internalisasi Adab untuk Peserta Didik Melalui Diri Sendiri (1)

Dr. Ade Wahidin, Lc., M.Pd.I.
Pengasuh Bina Qurani Islamic School

Internalisasi adalah setiap usaha dan upaya memasukkan pengetahuan dan keterampilan melaksanakan itu ke dalam pribadi. Disebut internalisasi karena memasukkan daerah luar atau extern (artinya pengetahuan itu masih berada di otak atau di kepala dan ini masih wilayah eksternal) ke intern atau dalam jiwa sehingga menjadi identitas kesehariannya. (Filsafat Pendidikan Islami, 2016)

Secara sepintas internalisasi dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai kepada seseorang. Jika kata intenalisasi ini dikaitkan denga adab maka materi yang dijadikan objek internalisasi adalah adabnya. Jadi, internalisasi adab untuk peserta didik adalah proses penanaman adab dengan metode-metode tertentu dalam jangka waktu tertentu bagi peserta didik.

Banyak sekali cendekiawan muslim yang concern terhadap internalisasi adab, di antaranya adalah Ibn Jamā’ah. Seorang ulama kenamaan bermazhab Syafi’i yang wafat tahun 733 H/ 1333 M. Sebagai bentuk perhatiannya terhadap internalisasi adab maka ia menulis sebuah kitab yang berjudul Tadhkirat al-Sāmi‘ wa al-Mutakallim fī Adab al-‘Ālim wa al-Muta’allim (Pedoman bagi Pendengar dan Komunikan dalam Internalisasi Adab bagi Pendidik dan Peserta Didik).

Pada dasarnya, menjadikan ulama klasik atau abad pertengahan sebagai referensi dalam masalah internalisasi adab sangatlah dibutuhkan karena kedekatan kurun mereka dengan kurun kenabian. Apalagi, di zaman era globalisasi yang identik dengan sains dan teknologi, di mana peluang dekadensi moral yang akan melanda umat Islam khususnya generasi muda cukup terbuka.  Oleh karena itu, internalisasi adab yang dikonsepsikan oleh Ibn Jamā’ah cukup menarik untuk digali.

Panduan internalisasi adab yang disusun oleh Ibn Jamā’ah secara umum diarahkan kepada dua subjek yaitu kepada pendidik dan kepada peserta didik. Dalam artikel ini akan dijelaskan internalisasi adab untuk peserta didik melalui dirinya sendiri. Berikut ini beberapa panduan internalisasi adab bagi para peserta didik melalui dirinya sendiri:

Pertama, Membersihkan Hatinya dari Penyakit Hati (An Yuṭahhir Qalbah min Kulli Ghishsh).

Adab peserta didik pertama terhadap dirinya adalah hendaknya seorang peserta didik membersihkan jiwanya dari segala bentuk penyakit hati. Seperti sifat curang (ghishsh), noda keburukan (danas), iri dengki, akidah yang keliru dan akhlak yang buruk. Hal ini bertujuan supaya peserta didik dapat dengan mudah menerima ilmu, menghafalnya, dan mampu menelaah suatu pelajaran hingga akar permasalahannya dan hakikat subtantifnya.

Ibn Jamā’ah mengartkulasikan ilmu itu laksana ibadah salat yang tersembunyi, ibadah hati, dan amalan batin. Sebagaimana ibadah salat yang sebenarnya (yang nampak)  harus bersih dari kotoran dan najis, maka demikian pula dengan ilmu. Ilmu tidak bisa diraih oleh peserta didik kecuali setelah ia membesihkan jiwanya dari sifat yang tercela dan noda karakter yang buruk. Dengan demikian, peserta didik berada dalam kondisi yang siap untuk menerima ilmu. (Tadhkirat al-Sāmi‘ wa al-Mutakallim fī Adab al-‘Ālim wa al-Muta’allim, 2018)

Kedua, Memiliki Niat yang Tulus dan Ikhlas Karena Allah (Ḥusn al-Niyyah fī Ṭalab al-‘Ilm bi An Yaqṣid bih Wajhallāh)

Hendaknya seorang peserta didik memiliki niat  dan tujuan yang benar dalam proses pedagogisnya. Yaitu dalam rangka meraih rida Allah (ikhlas), mengamalkan ilmu, menghidupkan syiar-syiar Islam, menyinari hatinya, mempercantik batinnya, meraih kedekatan tempat di sisi Allah pada hari kiamat, dan berharap menjadi bagian dari ahli ilmu yang potensial mendapatkan keridaan Allah dan keutamaan-Nya yang besar. Sebaliknya, hindari tujuan duniawi dalam menuntut ilmu. Seperti hanya untuk mendapatkan jabatan, kedudukan, harta, bangga diri di hadapan kawan, pujian manusia, popularitas dan yang sejenisnya.

Dari dua adab di atas dapat disimpulkan bahwa Ibn Jamā’ah sangat menekankan pembinaan mental spiritual yang baik atau penyucian jiwa bagi para peserta didik dalam menjalani aktivitas belajar mengajarnya dan bukan sekedar mengejar kompetensi kognitif seperti menghafal dan memahami. Dalam hal ini Ibn Jamā’ah mengartikulasikannya dengan terminologi taṭhīr al-qalb. (Tadhkirat al-Sāmi‘ wa al-Mutakallim fī Adab al-‘Ālim wa al-Muta’allim, 2018)

Ketiga, Memaksimalkan Masa Mudanya untuk Menuntut Ilmu (An Yubādir Shabābah wa Auqāt ‘Umrih ilā al-Taḥṣīl)

Hendaknya peserta didik –terutama yang masih muda- memanfaatkan waktu mudanya untuk menuntut ilmu. Jangan mudah terprovokasi dengan bisikan-bisikan yang melemahkan semangat menuntut ilmu, baik dalam bentuk menunda-nunda (taswīf) maupun berangan-angan (ta`mīl). Karena sesungguhnya setiap detik kehidupan akan terus berputar dan berlalu serta tidak mungkin akan kembali.

Pada saat yang sama, hendaknya peserta didik semaksimal mungkin dapat memutus seluruh koneksi dan relasi yang bisa menyibukkannya dari menuntut ilmu dan rintangan-rintangan yang bisa menghalanginya dari menuntut ilmu secara optimal, dari kesungguhan yang maksimal, dan dari daya juang yang tinggi dalam menuntut ilmu. Karena sesungguhnya penghalang-penghalang tersebut laksana perampok di tengah jalan.

Oleh karena itu para ulama menganjurkan agar peserta didik mengisolasi diri dari keluarga dan menjauhi negeri asalanya. Karena jika pikiran bercabang, maka hal ini akan membuatnya tidak mampu meraih ilmu secara mendalam (dark al-ḥaqāiq) dan komprehensif (ghumūḍ al-daqāiq). (Tadhkirat al-Sāmi‘ wa al-Mutakallim fī Adab al-‘Ālim wa al-Muta’allim, 2018)

Keempat, Sederhana dalam Sandang dan Pangan serta Sabar terhadap Sempitnya Kehidupan (An Yaqna’ min al-Qūt bimā Tayassar, wa Min al-Libās bimā Yasturu Mithluh)

Seorang peserta didik hendaknya memiliki pola hidup yang sederhana baik dalam sandang dan pangan. Tidak hedonis dalam sandang dan tidak konsumtif dalam pangan. Karena pada dasarnya, sabar dengan kehidupan yang sempit merupakan kunci mendapatkan ilmu yang luas dan maksimal; menjadikan hati dan fikiran fokus dalam belajar, sehingga hikmah dan ilmu dapat diraih hingga sumber dan akarnya. Berkaitan dengan argumentasi adab ini, Ibn Jamā’ah mengutip pandangan para ulama, di antaranya yaitu:

Imam Shāfi’ī berkata,

لا يطلب أحد هذا العلم بالملك وعز النفس فيفلح، ولكن من طلبه بذل النفس وضيق العيش وخدمة العلماء أفلح

“Bukanlah orang yang sukses dalam menuntut ilmu itu adalah dengan kehidupan lapang ala kerajaan dan jiwa yang sombong. Akan tetapi orang yang sukses dalam menuntut ilmu itu adalah siapa saja yang meraihnya dengan penuh pengorbanan jiwa, kesempitan hidup, dan pengabdian terhadap ulama.” (Tadhkirat al-Sāmi‘ wa al-Mutakallim fī Adab al-‘Ālim wa al-Muta’allim, 2018)

Kelima, Memiliki Strategi dan Manajemen  dalam Waktu Belajar (An Yuqassim Auqāt Lailih wa Nahārih)

Untuk meraih ilmu secara maksimal, maka diperlukan strategi dan manajemen yang akurat baik dalam pemilihan waktu maupun tempat. Oleh karena itu, seorang peserta didik harus pandai membagi waktu siang dan malamnya. Sisa umur yang dimilikinya, hendaknya digunakan untuk hal-hal yang bermanfaat.

Berkaitan dengan waktu, maka waktu yang paling bagus untuk aktivitas menghafal adalah sepertiga malam terakhir atau waktu sahur (al-asḥār). Untuk mempelajari dan membahas pelajaran adalah di pagi hari (al-abkār). Sedangkan untuk menulis kitab atau buku adalah di tengah hari. Sedangkan di malam hari, maka yang tepat adalah untuk mereview atau mengulas pelajaran sebelumnya.

Ibn Jamā’ah melanjutkan bahwa tempat melakukan aktivitas belajar –terutama menghafal- yang paling bagus adalah kamar-kamar dan segala tempat yang terhindar dari perkara-perkara yang memecah konsentrasi hati dan pikiran. Demikian pula, tidak direkomendasikan seorang peserta didik untuk menghafal di tempat-tempat rekreatif seperti taman dan kebun yang hijau, sungai-sungai, pinggir jalan-jalan, dan tempat yang bising. Karena tempat seperti ini hanya akan menjadikan hati dan fikiran tidak fokus. (Tadhkirat al-Sāmi‘ wa al-Mutakallim fī Adab al-‘Ālim wa al-Muta’allim, 2018)

Jadi, ineternalisasi adab untuk peserta didik yang dimulai dengan diri sendiri ini sangatlah penting. Apalagi jika peserta didik ini berada di asrama atau berada di sekolah yang menganut sistem boarding school maka kemandirian untuk memperbaiki diri semakin dituntut. Di samping internalisasi adab melalui pendidik atau peserta didik juga sangat penting untuk kesempurnaan adab peserta didik.

TAGS
#Ade Wahidin #internalisasi adab #panduan #Peserta Didik
© 2021 BQ Islamic Boarding School, All Rights reserved
Login