Ada enam hal-hal yang dapat membatalkan wudu, yaitu: (1). Keluar sesuatu dari qubul (saluran untuk buang air kecil) atau dubur (saluran untuk buang air besar). (2). Tidur berat dengan tidak meletakkan pantat di atas tanah. (3). Hilang kesadaran karena mabuk atau sakit. (4). Bersentuhan kulit tanpa ada penghalang antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya. (5). Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan. (6). Menyentuh lingkaran dubur manusia berdasarkan pendapat baru.
Penjelasan:
(1). Keluar sesuatu dari qubul (saluran untuk buang air kecil) atau dubur (saluran buang air besar) membatalkan wudu berdasarkan dalil-dalil berikut. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ
“Atau salah seorang dari kalian kembali dari tempat buang air.”(QS. Al-Ma’idah [5]: 6). Maksudnya adalah kembali dari tempat membuang hajat sekaligus telah membuangnya.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadis dari Abu Hurarairah Raḍiallāhu ‘Anhu bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ‘alaihi Wa sallam bersbada:
لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ مَنْ أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā tidak menerima salat salah seorang di antara kalian apabila dia berhadats sampai berwudu.”
Salah seorang penduduk Hadramaut bertanya, “Apakah hadats itu wahai Abu Hurarairah?” Abu Hurairah Raḍiallāhu ‘Anhu Menjawab, “Kentut, yang ringan maupun yang bersuara keras.” Dari sebab yang disebutkan ini maka diqiyaskan semua yang keluar dari qubul dan dubur walapun yang keluar itu suci.
(2). Tidur berat dengan tidak meletakkan pantat di atas tanah dapat membatalkan wudu ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan Abu Dawud dan selainyya dari Ali Raḍiallāhu ‘Anhu, bahwa Rasulullah Ṣallallāhu ‘alaihi Wa sallam bersabda:
وِكَاءُ السَّهِ الْعَيْنَانِ فَمَنْ نَامَ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Kedua mata adalah pengawas dubur. Barangsiapa yang tertidur, hendaklah dia berwudhu.”
Artinya, ketika bangun, seseorang akan mengetahui apa yang keluar dari dalam dirirnya karena dia merasakannya. Jika dia tidur, maka dikhawatirkan sesuatu telah keluar. Tidur dengan meletakkan pantat di tanah tidak akan terjatuh jika seseorang tidak bersandar pada apapun. Wudhunya tidak batal karena karena dia merasakan apa yang keluar. Hilangnya kesadaran diqiyaskan dengan tidur karena maknanya lebih mendalam.
(3). Bersentuhan kulit tanpa ada penghalang antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahramnya membatalkan wudu berdasarkan firman Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā tentang ayat wudhu:
أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ
“Atau kalian menyentuh perempuan.” (QS. al-Maidah [5]: 6)
(4). Menyentuh kemaluan manusia dengan telapak tangan membatalkan wudu berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh imam hadis yang lima dari Bisrah binti Shafwan Raḍiallāhu ‘Anhu, bahwa Nabi Subḥānahu Wa Ta’ālā bersabda, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka janganlah mendirikan salat smapai berwudu.” Tirmidzi menilai ṣahīh hadis ini. Dalam riwayat Nasa’i, “Berwudhu jika menyentuh kemaluan.”. Ini mencakup diri sendiri dan orang lain. Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Habibah Raḍiallāhu ‘Anhā:
مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأْ
“Barangsiapa menyentuh kemaluannya maka hendaklah dia berwudu.”
Ini mencakup laki-laki dan perempuan sebagaimana mencakup qubul dan dubur.
(5). Batalnya wudu orang yang menyentuh lingkaran dubur manusia merupakan pendapat baru (qoul jadīd). Maksudnya adalah pendapat Imam Syafii di Mesir, baik dalam bentuk karangan maupun fatwa. Pendapat ini diamalkan terus kecuali masalah-masalah yang ditarjih Oleh para imam madzhab terdahulu dan diungkapkan nashnya.
Dikutip dari: Muṣthafā Dīb al-Bughā, al-Tadhhīb Fi Adillahti al-Ghāyah Wa al-Taqrīb, (Beirūt: Dār Ibn Kathīr, 1989), 22-23.
#Abu Shuja' #Fikih #Mazhab Syafii #Pembatal Wudhu