Ibadah merupakan perkara taufiqiyah, yang mana tidak ada sesuatu bentuk ibadah pun yang disyariatkan kecuali berdasarkan pada Al-Qur’an Al-Karim dan As-Sunnah. Bentuk ibadah apa pun yang tidak disyariatkan oleh Islam, berarti bid’ah yang bertolak.
Hal ini sebagaimana sabda Nabi Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam yang artinya:
“Siapa melaksanakan suatu amalan tidak atas perintah kami, maka ia tertolak”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Maksudnya, amalnya ditolak dan tidak diterima, bahkan ia berdosa karenaya, sebab amal tersebut adalah maksiat, bukan taat. Kemudian manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah yang disyariatkan adalah sikap pertengahan antara meremehkan dan malas antara ekstrim dan melampaui batas. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman kepada Nabi-Nya:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan dan (Juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas.” (QS. Hud [11]: 112).
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Pembatasan Ibadah, Source: Photo by Ustman Unsplash
Ayat Al-Qur’an ini adalah garis petunjuk bagi Langkah manhaj yang benar dalam pelaksanaan ibadah. Yaitu dengan beristiqamah dalam melaksankan ibadah pada jalan pertengahan, tidak kurang atau lebih, sesuai dengan petunjuk syariat (sebagaimana diperintahkan kepadamu).
Lalu, Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā menegaskan lagi dengan firman-Nya, “Dan janganlah kamu melampaui batas.” Tughyan adalah melampaui batas dengan bersikap terlalu keras dan memaksakan kehendak serta mengada-ada. Ia lebih dikenal dengan ghuluw.
Ketika Rasulullah mengetahui bahwa tiga orang dari sahabatnya berlaku ghuluw dalam ibadah, di mana seorang dari mereka berkata, “Saya akan puasa terus dan tidak berbuka”, dan yang kedua berkata, “Saya akan shlat terus dan tidak tidur”, lalu yang ketiga berkata, “Saya tidak akan menikahi wanita” maka beliau bersabda:
“Adapaun saya, maka saya puasa dan berbuka, saya shalat dan tidur, dan saya menikahi perempuan. Maka barang siapa tidak menyukai sunahku maka dia bukan dari golonganku.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Pembatasan Ibadah, Source: Photo by MPG Dalangan Unsplash
Ada dua golongan yang saling bertentangan dalam soal ibadah:
Golongan pertama yang termasuk paham-paham keliru tentang pembatasan ibadah adalah golongan yang mengurangi makna ibadah serta meremehkan pelaksanaannya.
Mereka meniadakan berbagai macam ibadah dan hanya melaksanakan ibadah-ibadah yang terbatas pada syiar-syiar tertentu dan sedikit, yang hanya diadakan di masjid-masjid saja. Tidak ada peluang untuk beribadah di rumah, di kantor, di toko, di bidang sosial, muamalah, politik, juga tidak dalam peradilan kasus sengketa dan dalam perkara-perkara kehidupan lainnya.
Benar, masjid memang mempunyai keistimewaan dan harus dipergunakan untuk shalat fardhu lima waktu. Aka tetapi, ibadah mencakup seluruh aspek kehidupan muslim, baik di masjid maupun di luar masjid.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Pembatasan Ibadah, Source: Photo by Michael B Pexels
Adapun golongan kedua yang masuk ke dalam kategori paham keliru terkait pembatasan ibadah adalah golongan yang bersikap berlebih-lebihan dalam praktik ibadah sampai pada batas ekstrim, yang sunnah mereka angkat sampai menjadi wajib, sebagaimana yang mubah mereka angkat menjadi haram.
Golongan ini biasanya akan menghukumi sesat dan salah orang yang menyalahi manhaj mereka, serta menyalahkan pemahaman-pemahaman lainnya. Padahal, sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘alaihi wa sallam dan seburuk-buruk perkara adalah perkara bid’ah.
Dikutip dari: Dr. Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Aqidatut Tauhid Kitabut Tauhid lis-Shaff Al-Awwal – Ats-Tsalis – Al-Aly. Edisi terjemah: Alih Bahasa Syahirul Alim Al-Adib, Lc., Kitab Tauhid, (Jakarta: Ummul Qura, 2018), 61-63.
Thumbnail Source: Photo by MPG Dalangan Unsplash
Artikel Terkait:
Allah Al-Ilah yang Diibadahi