Pada masa kepemimpinan khalifah ‘Umar ibn al-Khaṭāb r.a. ‘ushūr ditetapkan bagi para pedagang yeng memasuki wilayah Islam. Beliau adalah orang yang pertama berijtihad akan penetapan ‘ushūr dan ini telah menjadi ijmak mengingat tidak ada penolakan dari para sahabat nabi yang lainnya.[1]
Penetapan ‘ushūr oleh ‘Umar ibn al-Khaṭāb r.a. berdasarkan perjanjian antara beliau dengan orang-orang ’ahlu al-Dhimmah, yaitu jika mereka membawa barang dagangan ke wilayah kaum muslimin, maka mereka membayar cukai barang dagangan. ’Abū ‘Ubaid menegaskan hal ini dengan mengatakan bahwa saya berpendapat bahwa pengumpulan cukai tetap dikenakan kepada ahlu dzimmah berdasarkan perjanjian damai. Karenanya, ketentuan tersebut merupakan hak yang mesti diserahkan kepada kaum muslimin.
Menurut ’Abū ‘Ubaid bahwa hal seperti ini juga merupakan pendapat Mālik ibn ’Anas sebagaimana yang diceritakan kepada beliau dari jalur Ibnu Bukair bahwa Mālik ibn ’Anas berkata, “Perjanjian perdamaian yang telah disepakati dengan ahlu dzimmah merupakan perjanjian berkenaan dengan pengakuan kedaulatan di negeri mereka, maka mereka tetap dikenakan kewajiban membayar cukai barang dagangan mereka setiap kali mereka masuk ke kawasan kaum muslimin.[2]
Sebelum ‘Umar ibn al-Khaṭāb r.a. menetapkan kebijakan penarikan ‘ushūr atas setiap barang-barang ekspor maupun impor yang disebut dengan istilah bea cukai pada masa kini, beliau menelusuri terlebih dahulu tentang kebijakan negara-negara non-Islam dalam mengambil bea cukai dari barang dagangan milik pendagang muslim yang memasuki wilayah mereka. Beliau bertanya kepada para pedagang muslim yang mendatangi negara-negara non-Islam seperti negara Ethiopia. Lalu para pedagang muslim tersebut menjelaskan bahwa barang dagangan mereka diambil 10%.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Penetapan Ushur, Source: Photo by Rauf Pexels
‘Uthmān ibn Hanif r.a. pun memberikan jawaban yang sama saat ditanya oleh ‘Umar bahwa pedagang muslim diambil barang dagangannya sebanyak 10% saat mereka ke negara kafir harbi. Maka, ‘Umar ibn al-Khaṭāb r.a. pun memutuskan hal yang sama atas barang dagangan yang masuk ke wilayah Islam. Hal yang sama juga disampaikan oleh sahabat Abū Musa al-As’ary yang menuliskan surat kepada ‘Umar yang berisi bahwa “Sesungguhnya para pedagang sebelum kami yang pergi ke negara kafir, mereka dibebani sebesar 10%.”
‘Umar ibn al-Khaṭāb r.a. membalas surat tersebut dengan mengatakan, “Ambillah dari mereka sebagaimana mereka mengambil ‘ushūr dari para saudagar muslim. Ambillah dari pedagang kafir harbi 10%, dari ’ahlu al-Dhimmah sebesar 5%, dan dari pedagang muslim 1 dirham setiap barang yang jumlahnya 40 dirham. Tetapi, barang dagangan yang kurang dari 200 dirham tidak dikenai ‘ushur. Jika barang dagangan mencapai 200 dirham maka bebannya sebesar 5 dirham dan jika lebih maka setiap 40 dirham dikenai 1 dirham.”[3]
==========
[1] Jarībah ibn ’Aḥmad al-Hārithī, al-Fiqh al-Iqtisādī Li ’Amīr al-Mu’minīn ibn al-Khaṭāb, (Jeddah: Dār al-’Andalus al-Khadrā, 2003), 310-313.
Ijmak adalah kesepakatan mujtahid pada satu masa dari ummat Muhammad S.A.W. setelah wafatnya beliau akan perkara agama. Para ulama telah sepakat bahwa ijmak merupakan hujjah syar’iyyah yang wajib diikuti berdasarkan firman Allah S.W.T. dalam surat al-Nisa ayat 115 dan hadis riwayat Ibnu Mājah No.3950 yang menjelaskan bahwa ummat ini tidak akan sepakat dalam hal kesesatan. Lihat, Muhammad ibn Huṣain al-Jīzānī, Ma’ālim ’Ushūl al-Fiqh ‘Inda Ahlu al-Sunnah, (Saudi Arabia: Dār Ibn Jauzī, 1429), 156-178.
[2] ’Abū ‘Ubaid al-Qāsim ibn Salām, Kitab al-’Amwāl, Taḥqīq Muhammad Khalīl Harrās, (Beirūt: Dār al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1986), 530.
[3] ‘Alī Muhammad al-Sallābi, Faṣl al-Khiṭāb Fī Sīrati ibn al-Khaṭāb, (al-Qāhirah: Maktabah al-Tābi’in, 2002), 310-313.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 44-46.
Thumbnail Source: Photo by Quintin Pexels
Artikel Terkait:
Penetapan Syariat Wakaf