Sebagian ulama-ulama kotemporer ada yang mengharaman pajak. Di antaranya adalah Muhammad Nāṣiruddīn al-Bānī yang berpendapat bahwa pajak-pajak pada zaman sekarang itu adalah mukūs yang tidak diperbolehkan pemungutannya dalam agama Islam. Menurut al-Bānī bahwa para ulama sepakat akan terlarangnya al-Mukūs. Pajak diperbolehkan pada saat negara dalam kondisi darurat dan tidak memiliki keuangan sama sekali untuk memebuhi kebutuhannya.
Maka, pajak dibebankan pada orang-orang tertentu hanya untuk mencukupi kebutuhan negara tersebut dan pada kondisi darutat. Menurutnya ini berbeda dengan pajak yang diterapkan kebanyakan negara-negara. Sebab pajak diwajibkan secara permanen untuk dibayarkan kepada pemerintah, maka itu disebut dengan mukus yang diharamkan. Sedangkan pajak yang diperbolehkan hanya untuk menutupi kekurangan pada saat kondisi darurat dan jika kondisi tersebut hilang, maka hilang pula beban kewajiban pajak yang dimaksud.[1]
‘Abd al-‘Azīz ibn ‘Abd Allāh ibn Bāz juga berpendapat bahwa pajak adalah sesuatu yang mungkar. Perkataan Ibnu Bāz tersebut menunjukkan bahwa menurutnya pajak adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan atau haram. Ibnu Bāz menyarankan bahwa pemimpin yang berpandangan akan bolehnya dan menetapkan penarikan pajak, hendaknya mempertimbangkan agar menarik kembali pendapatnya.[2]
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Pengharaman Pajak oleh Ulama Kontemporer, Source: Photo by Fuzail Pexels
Muhammad ibn Ṣāleh al-Uthaimīn juga berpendapat bahwa hukum pajak adalah haram dikarenakan termasuk kategori mengambil harta tanpa hak. Padahal seseorang diharamkan mengambil harta saudaranya tanpa hak sebagaimana dalam hadis yang melarang mengambil harta saudaranya tanpa hak. Sekalipun demikian, Ibnu Uthaimin tetap menyarankan agar menaati pemimpin jika dia tetap mewajibkan pajak pada rakyatnya berdasarkan hadis yang memerintahkan agar mendengar dan menaati pemimpin sekalipun dia memukul punggungmu dan mengambil hartamu.[3]
Muhammad Shaleh al-Munnajid juga berpendapat haramnya pajak. Dia juga mengatakan bahwa pungutan bea cukai impor dan ekspor termasuk al-Makūs yang diharamkan dalam agama. Praktek pajak dan royalti yang diambil dari para pedagang merupakan praktik pajak yang dahulu diterapkan pada masa Jahiliyah. Jika seorang pengusaha muslim diminta untuk membayar pajak atas barang dagangannya dan tidak ada cara lain kecuali harus membayarnya maka tidak mengapa ia membayarnya demi melindungi barang dagangannya. Ia tidak berdosa dan apa yang dilakukannya bukanlah suap, tapi petugas penarik pajaklah yang berdosa.
==========
[1]Rujuk:http://audio.islamweb.net/audio/index.php?full=1&page=FullContent&audioid=6277#109346, Diakses pada 29 Januari 2019.
[2] ‘Abd al-‘Azīz ibn ’Abd Allāh ibn Bāz, Majmū’ Fatāwa Wa Maqālāt Mutanawi’ah, I’dād Muhammad ibn Sa’ad, (Riyāḍ: Dār al-Qāsim Linashr, 1420), 8, 208-209.
Keterangan tentang pandangan Ibnu Bāz tentang pajak itu disampaikan pada saat menjelaskan suatu pertanyaan bahwa apakah boleh keluar dari aturan umum yang ditetapkan ulul amri seperti aturan lalu lintas dan paspor dengan alasan bahwa itu semua tidak didasarkan pada aturan syariat Islam. Kemudian Ibnu baz menjelaskan bahwa aturan-aturan tersebut ditetapkan untuk kemaslahatan kaum muslimin. Sehingga pendapat yang mengatakan boleh tidak menaatinya adalah pandangan yang keliru dan mungkar. Sebab hal itu telah diketahui secara umum bermanfaat untuk kaum muslimin. Baru setelah itu Ibnu Bāz memberikan contoh kemungkaran keputusan pemimpin yang harus ditinjau ulang, yaitu pajak.
[3] Muhammad ibn Ṣāleh al-‘Uthaimīn, Liqā’at al-Bāb al-Maftūh, disusun oleh Abd Allāh Muhammad al-Thayyār, (Iskandariyah: Dār al-Baṣīrah, 1438) 416-417.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 64-65.
Thumbnail Source: Photo by Khairul Pexels
Artikel Terkait:
Pajak Bentuk Ketaatan Kepada Pemimpin Negara