Seseorang boleh memilih berbuka atau tetap berpuasa saat safar. Keduanya dibenarkan dalam agama. Tidak boleh saling mencela apapun pilihannya. Berikut adalah penejelasan hadis yang dikutip dari kitab Taisīr al-‘Allām Syarh ‘Umdah al-Aḥkām karya ‘Abd Allāh ibn ‘Abd al-Raḥmān al-Bassām:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: كُنَّا نُسَافِرُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يَعِبِ الصَّائِمُ عَلَى الْمُفْطِرِ وَلَا الْمُفْطِرُ عَلَى الصَّائِمِ
Dari Anas Bin Malik Raḍiallāhu ‘Anhu, ia berkata, “Kami berpegian bersama Rasulullah, yang berpuasa tidak mencela yang berbuka, yang berbuka tidak mencela yang berpuasa.” (HR. al-Bukhari No. 1947 dan Muslim No. 1118)
Makna Global
Para sahabat berpegian bersama Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam, sebagian ada yang tidak berpuasa dan sebagian lain berpuasa. Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam mengakui hal itu, karena puasa adalah asalnya dan berbuka adalah keringanan. Orang yang mengambil keringanan yang tidak dilakukan tidak perlu diingkari. Karena itu mereka tidak saling mencela satu sama lain.
Intisari Hukum
(1). Diperbolehkan tidak berpuasa ketika dalam perjalanan.
(2). Pengakuan Nabi untuk puasa dan tidak puasa yang dilakukan para shahabat dalam perjalanan, menunjukkan dua hal tersebut sama-sama boleh.
Dikutip dari: ‘Abd Allāh ibn ‘Abd al-Raḥmān al-Bassām, Taisīr al-‘Allām Syarh ‘Umdah al-Aḥkām, Takhrīj Muhammad Subḥī Ḥasan Hallāq, (Shan’ā: Maktabah al-Irshād dan Maktabah al-Asady, 2004), 236-237. Edisi terjemah: Alih Bahasa Umar Mujtahid, Fikih Hadits Bukhari Muslim, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), 491 – 493.
Source: Photo by Taryn Elliott from Pexels
#Berbuka puasa #khazanah #Puasa Ramadan #safar