Rukyatul hilal (melihat hilal) merupakan salah satu metode yang digunakan di Indonesia dalam menentukan awal bulan Ramadan sebelum dilakukan sidang isbat. Bagaimana sebenarnya metode tersebut dan apa dasar dalilnya? Berikut adalah penejelasan hadis yang dikutip dari kitab Taisīr al-‘Allām Syarh ‘Umdah al-Aḥkām karya ‘Abd Allāh ibn ‘Abd al-Raḥmān al-Bassām:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: إذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا، وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا، فَإِنْ غُمَّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Dari Abdullah bin Umar Raḍiallāhu ‘Anhumā, ia berkata, “Aku mendengar Rasullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ‘Jika kalian melihatnya (hilal Ramadan) maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya (hilal Syawal) maka berbukalah. Dan jika kalian terhalangi awan (untuk melihat hilal) maka perkirakanlah (perhitungan bulannya).” (HR. al-Bukhari No. 1906 dan Muslim No. 1080)
Kosakata Asing
(غُمَّ عَلَيْكُمْ) Dalam bentuk mabni majhul, artinya jika kalian terhalang oleh awan ataupun yang lainnya.
(فَاقْدُرُوا لَهُ) Yaitu perkirakan hitungnya, lalu sempurnakan bilangan 30 hari. Pendapat lain menyatakan, makna (اقدروا) adalah persempitlah, yaitu mempersempit bilangan Sya’ban lalu dijadikan 29 hari. Kedua pendapat ini memicu perbedaan pendapat yang akan disebut berikutnya.
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, “Maka berpuasalah,” maksudnya agar berniat puasa pada malam harinya, seperti itu juga sabda beliau, “Maka berbukalah.”
Makna Global
Hukum-hukum syariat dibangun di atas hukum asal, sehingga tidak boleh dialihkan pada yang lain kecuali dengan dalil yang meyakinkan. Di antara hukum asal itu adalah bulan Sya’ban tidak ada kewajiban berpuasa selama Sya’ban belum genap 30 hari, hingga bulan Sya’ban diketahui sudah berakhir, atau dengan terlihatnya hilal Ramadan, sehingga Ramadan diketahui sudah masuk.
Karena sabab itulah, Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam menggantungkan awal puasa Ramadan dan berakhirnya puasa dengan melihat hilal. Namun jika ada penghalang, seperti mendung, kabut, atau semacamnya, Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam memerintahkan mereka untuk mempekirakan perhitungan bulan, yaitu dengan menggenapkan 30 hari, setelah itu baru berpuasa. Ketentuan ini mengacu pada kaidah ushul (Ketentuan sesuatu itu tetap berlaku seperti sedia kala).
Perbedaaan Pendapat Ulama
Ulama berbeda pendapat terkait hukum berpuasa pada tanggal 30 Sya’ban Ketika hilal tertutup awan, embun, atau hal-hal lain yang menghalangi ruyat.
Yang masyhur menurut Imam Ahmad Raḥimahullāh yang dinyatakan oleh sebagaian besar para pengikutnya sebagai mazhab Hanbali; wajib berpuasa pada hari itu sebagai dugaan kuat dan langkah antisipasi bahwa bulan Ramadan sudah masuk. Pendapat ini berdasarkan pada sabda Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam, “Maka perkirakanlah (perhitungan bulannya).” Sabda ini mereka tafsirkan demikian; persempitlah bulan Sya’ban dan perkirakan perhitungannya 29 hari. Riwayat dari Ahmad ini termasuk salah pendapat yang tidak dikemukakan oleh imam-imam lain. Penafsiran ini diriwayatkan dari sejumlah sahabat, seperti Abu Hurairah, Ibnu Umar, Aisyah, dan Asma Raḍiallāhu ‘Anhum.
Jumhur ulama dan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Syafii Raḥimahumullāh berpendapat; tidak wajib berpuasa pada hari itu dan jika seseorang berpuasa untuk bulan Ramadan pada hari itu, hukumnya tidak sah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah memilih pendapat ini. Menurutnya, riwayat-riwayat inilah yang dinukil Ahmad. Pemilik kitab Al-Furu’ menyatakan, “Saya tidak menemukan pendapat Imam Ahmad yang secara tegas mewajibkan atau memerintahkan seperti itu.”
Di antara para tokoh mazhab Hanbali yang memiliki pendapat ini adalah Abu Khattab dan Ibnu Uqail. Dalilnya adalah riwayat marfu’ dari Bukhari dan Muslim, “Berpuasalah karena melihat (hilal Ramadan) dan berbukalah karena melihatnya (hilal Syawal), lalu jika kalian terhalangi awan (untuk melihat hilal), maka sempurnakan bilangan bulan Sya’ban 30 hari.” Hadis ini dan hadis-hadis serupa lainnya menunjukan bahwa makna “Maka perkirakan (perhitungan bulan)nya,” adalah hitunglah hisabnya dengan menggenapkan bulan Sya’ban 30 hari.
Ibnu Qayyim mengupas masalah ini dalam kitab Al-Hadyu, menguatkan pendapat jumhur dan menolak pendapat lain. Ia juga menjelaskan bahwa tidak ada pernyataan yang jelas dari seorang sahabat pun, selain yang diriwayatkan dari Ibnu Umar yang memilih kehati-hatian dalam masalah ini. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menyatakan bahwa mewajibkan berpuasa pada hari yang diragukan sama sekali tidak berhujah dengan pendapat Imam Ahmad, ataupun shabat, meski ada sebagaian yang mewajibkan.
Pendapat Imam Ahmad adalah boleh berbuka dan boleh berpuasa. Pendapat ini juga dikemukakan Imam Abu Hanifah, sebagian besar sahabat dan tabi’in. Adapun semua dasar-dasar syariat telah menetapkan kehati-hatian dengan tidak mewajibkan ataupun mengharamkan.
Mereka juga berbeda pendapat ketika hilal terlihat di suatu wilayah, apakah semua orang diwajibkan berpuasa?
Yang masyhur dari Imam Ahmad dan para pengikutnya adalah; wajib berpuasa bagi seluruh kaum muulimin di berbagai belahan dunia, karena Ramadan sudah terbukti masuk, dan hukum-hukumnya berlaku, sehingga puasa wajib dilakukan. Ini termasuk salah satu pendapat pribadi Imam Ahmad yang tidak disetujui para pengikutnya, yang juga dikemukakan Imam Abu Hanifah.
Sebagian yang lain berpendapat tidak wajib, setiap penduduk suatu wilayah memiliki rukyat masing-masing. Ini mazhab Qasim bin Muhammad, Salim bin Abdullah dan Ishaq, berdasarkan riwayat kuraib, ia berkata, ”Aku pergi ke Syam. Saat aku tidab di Syam, bulan Ramadan sudah masuk ketika kami melihat hilal pada malam Jum’at. Pada akhir bulan Ramadan, aku Kembali ke Madinah, lalu Ibnu Abbas bertanya kepadaku tentang hilal, ‘Kapan kalian melihat hilal (di Syam)?’ Aku kemudian menceritakan kepadanya, lalu Ibnu Abbas menyahut, ‘Tapi kami melihatnya pada malam sabtu. Kami tetap berpuasa hingga menggenapkan tiga puluh, atau kami melihatnya (hilal).’ Aku bertanya , ‘Apakah rukyat dan puasa Mu’awiyah tidak cukup?’ “Tidak. Seperti itulah yang Rasulullah perintahkan kepada kami,’ jawab Ibnu Abbas.”
Yang masyhur dari Imam Syafii adalah; jika mathla’-nya berbeda, setiap wilayah memiliki hukum tersendiri, namun jika mathla’-nya sama, hukum puasa dan berbukanya sama. Pendapat ini dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhad Al-Marakisy dalam kitabnya, Al-‘Adz Az-Zallal fi Mabahits Ru’yatil Hilal menyebutkan, jika jarak kedua wilayah kuarang dari 2226 km, berarti hilalnya sama. Lebih dari itu, hilalnya berbeda.
Intisari Hukum
(1). Puasa bulan Ramadan tergantung rukyat hilal manusia atau sebagian dari mereka. Ibnu Daqiq Id Raḥimahullāh menolak jika puasa Ramadan dikaitkan dengan hilal sesuai perhitungan para ahli astronomi saja, tentu hanya diketahui oleh segelintir orang saja, padahal syariat bertumpu pada pengetahuan sebagian orang besar.
(2). Begitu pula menetapkan akhir puasa dengan rukyat hilal.
(3). Ketika hilal tidak terlihat maka tidak diperbolehkan berpuasa dan harus menyempurnakan bulan Sya’ban menjadi 30 hari. Begitu juga tidak mengakhiri puasa kecuali dengan menyempurnakan bulan Ramadan 30 hari.
(4). Ketika hilal tertutupi mendung atau kabut, mereka mengenapkan bilangan Sya’ban menjadi 30 hari. Shan’ani mengatakan, “Menurut mayoritas ahli fikih dan hadis, maksud ‘Maka perkirakanlah perhitungannya’ adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban 30 hari, seperti yang dijelaskan dalam hadits lain.”
(5). Puasa tidak dilakukan pada tanggal 30 Sya’ban saat hilal tidak terlihat karena tertutup mendung dan lainnya.
Dikutip dari: ‘Abd Allāh ibn ‘Abd al-Raḥmān al-Bassām, Taisīr al-‘Allām Syarḥ ‘Umdah al-Aḥkām, Takrīj Muhammad Subḥī Ḥasan Hallāq, (Ṣan’ā: Maktabah al-Irshād dan Maktabah al-Asady, 2004), 228-230. Edisi terjemah: Alih Bahasa Umar Mujtahid, Fikih Hadits Bukhari Muslim, (Jakarta: Ummul Qura, 2013), 473.
#Fikih Puasa #Fikih Ramadan #Fikih #Hadis #Puasa Ramadan #Rukyatul Hilal