Pendidikan karakter sangat penting dalam pembentukan akhlak generasi bangsa bahkan menjadi landasan utama untuk mewujudkan visi pembangunan nasional yaitu mewujudkan manusia berakhlak mulia, bermoral, beretika, dan beradab berdasarkan falsafah Pancasila. (Amirullah Syarbini, 2012).
Karakter adalah lebih dekat atau sama dengan akhlak yaitu spontanitas manusia bersikap atau perbuatan yang telah menyatu dalam perbuatan diri manusia sehingga ketika muncul tidak perlu dipikirkan lagi (Ahmat Tafsir, 2000). Adapun pendidikan karakter adalah upaya yang disengaja untuk membantu memahami manusia, peduli dan merealisasikan nilai-nilai etis/susila (Pendidikan Karakter: Konsep dan Implementasi, 2017).
Dan berhasilnya pendidikan karakter tidak terlepas dari pilar pendidikan karakter yang sangat penting seperti; (1) Cinta Allah dan kebenaran, (2) Tanggung jawab, disiplin, dan mandiri, (3) Amanah, hormat dan santun, (5) Kasih sayang peduli, dan kerjasama, (6) Percaya diri, kreatif, dan pantang menyerah, (7) Adil dan Berjiwa kepemimpinan, (8) Baik dan rendah hati, (9) Toleran dan cinta damai. (Ratna Megawangi, 2012).
Perjalanan hidup Nabi Shalih ‘alaihissalam adalah diantara kisah panjang pendidikan karakter seorang Nabi kepada kaumnya. Nabi Shalih adalah Nabi Kaum Tsamud yang merupakan bagian dari anak keturunan Nabi Nuh ‘alaihissalam. Kaum Tsamud adalah bangsa arab asli yang tinggal di bebatuan yang terletak antara kota Hijaz (Kota Madinah) dan Tabuk.
Wilayah ini dahulu dikenal dengan nama Madain Shalih atau Kota al Hijr yang secara geografis terletak di barat laut Saudi Arabia wilayah al ‘Ula provinsi Madinah. Kaum Tsamud datang setelah kaum ‘Ad dengan kelebihan yang Allah berikan sama yaitu ahli pahat gunung yang mampu menjadi istana dan rumah yang indah. Hal ini tidak lain didukung oleh postur yang besar lagi gagah dan juga fisik yang kuat.
Thumbnail: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Pilar Pendidikan Karakter, Source: Photo by Pixabay Pexels
Berdasarkan kisah dalam Alquran ada beberapa pilar pendidikan karakter yang diterapkan Nabi Shalih kepada kaumnya yang dapat menjadi pelajaran untuk kita. Pertama, Cinta Allah dan kebenaran. Pilar pendidikan karakter ini secara eksplisit dalam surah al A’raf [7]: 73. Allah berfirman:
وَإِلَى ثَمُودَ أَخَاهُمْ صَالِحًا قَالَ يَاقَوْمِ اعْبُدُوا اللَّهَ مَا لَكُمْ مِنْ إِلَهٍ غَيْرُهُ
Artinya:
“Dan kami telah mengutus kepada kaum Tsamud saudara mereka, Shalih. Ia berkata. ‘Wahai kaumku sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada Tuhan bagimu selain Dia’.”
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
إِذْ قَالَ لَهُمْ أَخُوهُمْ صَالِحٌ أَلَا تَتَّقُونَ (142) إِنِّي لَكُمْ رَسُولٌ أَمِينٌ (143) فَاتَّقُوا اللَّهَ وَأَطِيعُونِ
Artinya:
“Ketika saudara mereka Shalih berkata kepada mereka, “Mengapa kalian tidak bertaqwa? Sesungguhnya aku adalah seorang Rasul yang diutus kepada kalian. Maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku’.” (QS. Al Syu’ara [26]: 142-143)
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā mengutus Nabi Shalih kepada kaumnya untuk sebuah tujuan inti yaitu menyembah Allah dan tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun. Hal ini tidak lain karena kaum Tsamud menyembah berhala dan melakukan berbagai praktek kesyirikan lainnya.
Penanaman karakter cinta Allah yang disemai benihnya dan dijaga siang malam oleh Nabi Shalih kepada kaumnya tidak berjalan sesuai harapan. Yang mengingkari dan berpaling lebih banyak padahal mukjizat telah dibuktikan dengan keluarnya unta betina dari bongkahan batu yang sangat keras (Tafsir al Quran al ‘azim li Ibni Katsir, 1419 H).
Kebenaran yang dibawa Nabi Shalih tidak membuka hati kaumnya sehingga Allah menurunkan azab berupa suara keras dari langit dan gempa yang sangat dahsyat dari bawah mereka sehingga mereka yang membangkang mati dalam satu waktu. Inilah pilar pertama dalam pendidikan karakter yang jika tidak diterapkan kepada peserta didik akan berbuah azab yang pedih dan sebaliknya jika terpatri kuat dalam jiwa peserta didik akan menjadi sebab ketaqwaan yang berbuah kebahagian dunia dan akhirat.
Thumbnail: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Pilar Pendidikan Karakter, Source: Photo by Pixabay Pexels
Pendidikan karakter sebuah keharusan dalam setiap jenjang pendidikan. Para Nabi menanamkan pendidikan karakter kepada kaumnya sejak awal diutus kepada siapapun baik anak kecil atau dewasa. Berikut ini beberapa pilar yang harus ditanamkan dalam pendidikan karakter peserta didik:
Pilar pertama yang ditanamkan dalam pendidikan karakter adalah cinta Allah dan kebenaran.
Adapun yang kedua adalah tanggungjawab, disiplin, dan mandiri. Nabi Shalih ‘alaihissalam menunjukkan pilar penting ini kepada kaumnya dengan menjaga mukjizat yang diberikan berupa unta betina (Al Isra: 59) dan kemandirian berupa tidak mengambil upah dari dakwah yang diserukan (QS. Asy Syu’ara: 141).
Amanah menyampaikan risalah tidak pernah membuat Nabi Shalih menyerah dengan rintangan yang membentang luas dari kaumnya. Tidak sedikit penolakan yang frontal dari kaumnya disikapi dengan bijaksana. Allah befirman dalam QS. Al A’raf [7]: 79):
فَتَوَلَّى عَنْهُمْ وَقَالَ يَاقَوْمِ لَقَدْ أَبْلَغْتُكُمْ رِسَالَةَ رَبِّي وَنَصَحْتُ لَكُمْ وَلَكِنْ لَا تُحِبُّونَ النَّاصِحِينَ
“Kemudian dia (Nabi Shalih) pergi meninggalkan mereka sambil berkata, “Wahai kaumku! Sungguh aku telah menyampaikan amanah Tuhanku kepadamu dan aku telah menasehati kamu. Tetapi kamu tidak menyukai orang yang memberi nasihat (Kisah Para Nabi, 2011).”
Sudah menjadi akhlak para Nabi untuk sangat menyayangi dan peduli kepada umatnya. Tutur kata yang halus dalam seruan dakwah, sikap baik yang membuat siapapun terkesan, dan mau bekerjasama dalam kebaikan sangat diketahui oleh kaumnya. Jika bukan karena kesombongan dan takut kehilangan kedudukan pastilah kaumnya beriman (QS. Al A’raf [7]: 75).
Kemampuan dalam mengemban amanah besar pasti lahir dari jiwa yang kuat dan kepercayaan diri yang mantap. Ini tidak lain berawal dari keimanan yang kuat dan tawakal total kepada Allah ‘azzawajalla. Jika kepercayaan diri telah hadir maka akan hidup berbagai ide kreatif dalam menyampaikan risalah nubuwwah.
Nabi Shalih ‘alahissalam menunjukkan jiwa kepemimpinannya dalam surah Asy Syu’ara ayat 141-157. Ketegasannya telah menjadi karakter kepemimpinannya ketika berdakwah dan dibuktikan saat mukjizat berupa unta betina yang keluar dari dalam batu keras. Unta tersebut wajib dijaga dan jangan sampai disakiti.
Menurut Imam Ibnu Jarir al Tabari dalam kitab tafsirnya, unta betina tersebut memiliki air susu yang mencukupi kaum Nabi Shalih sehingga untuk keadilan kaumnya Nabi Shalih menggilir mereka dalam mengambil susu unta betina tersebut. Allah pertegas ini dalam surah Asy Syu’ara: 155 (Muhammad Bin Jarir al Tabari, 2001).
Hal ini tercermin dalam surah Hud ayat 61-63 dan dalam surah al A’raf ayat 73-79 dimana Nabi Shalih selalu bersikap baik dan lemah lembut kepada kaumnya walaupun mendapat penolakan, sindiran menyakitkan dan hinaan terburuk yang nyata. Semua itu dihadapi dengan rendah hati tidak dengan emosi apalagi dendam abadi.
Itulah karakter berharga yang Allah kisahkan dalam Alquran tentang akhlak mulia nabi dan rasul-Nya. Semua itu tidak lain untuk diteladani dan menjadi pijakan generasi setelahnya dalam berucap dan bersikap.
Maka dari itu hendaknya seorang muslim menghadapi ketetapan syariat dan karakter yang dibawa oleh nabi dan rasul dengan sikap menerima, berserah diri, dan tunduk kepada Allah secara total. Karena hanya dengan begitu rahmat, berkah, dan keselamatan dunia akhirat dapat diraih (Mendulang Hikmah Dari Kisah-kisah Dalam Alquran).
Thumbnail Source: Photo by Olexandr Pexels
Artikel Terkait:
Pendidikan Anak dalam Islam