Generic selectors
Exact matches only
Search in title
Search in content
Post Type Selectors

Prinsip Penetapan Beban Pajak

Bina-Qurani-Prinsip-Penetapan-Beban-Pajak
Prinsip Penetapan Beban Pajak

Pajak yang ditetapkan oleh suatu negara beraneka ragam, seperti pajak penghasilan, pajak pertambahan nilai barang dan jasa, pajak penjualan atas barang mewah, dan bea materai, serta pajak bumi dan bangunan. Pajak penghasilan yaitu pajak yang dibebankan kepada orang pribadi atau suatu badan atas penghasilan yang diterima selama satu tahun pajak. Pajak pertambahan nilai barang dan jasa adalah pajak yang dibebankan kepada orang pribadi, perusahaan, dan pemerintah atas konsumsi barang dan jasa wajib pajak.

Pajak penjualan atas barang mewah adalah pajak yang dibebankan atas konsumi barang-barang mewah, yaitu barang yang bukan termasuk kebutuhan pokok, dikonsumi oleh masyarakat tertentu, dan umumnya hanya dikonsumsi oleh masyarakat yang memiliki pendapatan tinggi atau hanya sekedar untuk mengangkat status sosial, dan juga barang yang dapat merusak kesehatan serta moral masyarakat. Pajak bumi dan bangunan adalah pajak yang dibebankan atas dasar kepemilikan atau pemanfaatan lahan atau bangunan. Adapun yang dimaksud dengan bea materai adalah pajak yang dibebankan atas pemanfaatan dokumen, seperti surat perjanjian, akta notaris, dan surat berharga.[1]

Bina-Qurani-Prinsip-Penetapan-Beban-Pajak

Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Prinsip Penetapan Beban Pajak, Source: Photo by John Pexels

Menurut Adam Smith[2] bahwa penetapan beban pajak harus berdasarkan beberapa prinsip yang disebut dengan istilah “Smith’s Canons”, yaitu; pertama, prinsip kesamaan (equality), maksudnya adalah beban pajak harus berdasarkan kemampuan dari setiap wajib pajak. Maka, perbedaan penghasilan harus dijadikan sebagai dasar dalam distribusi beban pajak. Kedua, prinsip kepastian (certainty), yaitu pajak yang ditetapkan harus tegas, jelas, dan pasti sehingga dipahami dengan mudah dan memudahkan administrasi.

Ketiga, prinsip kecocokan (convenience), yaitu pajak yang dibebankan tidak berdasarkan paksaan kepada warga wajib pajak. Tetapi hendaknya warga yang wajib pajak menunaikan kewajiban membayar pajak dengan suka rela kepada pemerintah. Keempat, prinsip ekonomi (economy), yaitu beban pajak tidak menimbulkan kerugian kecuali sangat kecil, sehingga beban yang wajib dibayarkan tidak melebihi jumlah pendapatan orang yang wajib pajak. Smith’s Canonons ini dilengkapi oleh sarjana lain dengan tambahan satu prinsip yang disebut dengan prinsip ketepatan, yaitu hendaknya pajak dipungut tepat pada waktunya dan tidak boleh mempersulit anggaran belanja pemerintah.[3]

 

==========

[1] Muhammad Djafar Saidi dan Eka Merdekawati, Hukum Keuangan Negara Teori dan Praktik, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2017), 15-17. TM Books, Cermat Menguasai Seluk-Beluk Perpajakan Indonesia, (Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2015), 2-3.

[2] Adam Smith, An Inquiry Into The Nature dan Causes of The Wealth of Nations, (Lausanne: Metalibri, 2007), 639-641.

[3] M. Suparmoko, Keuangan Negara Dalam Teori dan Praktik, (Yogyakarta: Bagian Penerbitan Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada (BPFE), 1991), 97-98.

Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun(Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 81-82.

Thumbnail Source: Photo by Jose Pexels

Artikel Terkait:
Unsur-unsur Pajak

TAGS
#ihlas beramal #ikhlas beramal shalih #ikhlas beramal #ikhlas dalam beramal #ikhlas dalam beribadah #ikhlas ketika shalat #ikhlas #Keuangan Islam #Keuangan Negara dalam Islam #Keuangan Publik #kiat-kiat ikhlas #niat yang ikhlas #Pajak #pengertian ikhlas #pentingnya ikhlas beramal #urgensi ikhlas dalam islam #Wakaf
© 2021 BQ Islamic Boarding School, All Rights reserved
Login