Puasa Ramadhan merupakan puasa wajib pada bulan Ramahdan tahun Hijriyah. Puasa Ramadhan diwajibkan atas setiap Muslim yang baligh, berakal, sehat (tidak sakit), mukim (bukan musafir), suci dari haidh dan nifas.
Hal ini sebagaimana firman Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (183) أَيَّامًا مَعْدُودَاتٍ فَمَنْ كَانَ مِنْكُمْ مَرِيضًا أَوْ عَلَى سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ وَعَلَى الَّذِينَ يُطِيقُونَهُ فِدْيَةٌ طَعَامُ مِسْكِينٍ فَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَهُوَ خَيْرٌ لَهُ وَأَنْ تَصُومُوا خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ (184)
Artinya:
“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelummu agar kamu bertakwa, yaitu dalam beberapa hari tertentu. Maka barangsiapa di antara kamu sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka wajiblah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari lain.” (QS. Al-Baqarah: 183-184)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Puasa Ramadhan, Source: Photo by Rauf Alvi Pexels
Kewajiban puasa Ramadhan berlaku di saat masuknya bulan Ramadhan. Ada du acara yang dapat ditempuh dalam menetapkan masuknya bulan Ramadhan, yaitu:
Melihat hilal atau bulan sabit yang menandai permulaan bulan Ramadhan. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ
Artinya:
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu melihat tanda kehadiran bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu.” (QS. Al-Baqarah: 185)
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Raḍiallāhu ‘Anhu bahwa Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Jika kalian melihatnya yaitu hilal, maka berpuasalah dan jika kalian melihatnya, maka berhentilah berpuasa untuk hari raya Ied. Apabila pandangan kalian terhalang oleh awan, maka genapkanlah hitungan bulan menjadi tiga puluh hari.” (HR. Bukhari Muslim)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Puasa Ramadhan, Source: Photo by Naim Pexels
Metode yang paling tepat untuk mengetahui hilal adalah dengan melihat langsung, tidak dengan metode hisab ilmu falak. Perhitungan degan hisab ilmu falak tidak sah.
Jika ada orang yang dianggap adil dan terpercaya menyatakan bahwa ia melihat hilal yang menandai masuknya bulan Ramadhan, maka menurut pendapat kebanyakan ulama, pernyataannya diterima.
Dalil yang memperkuat hal ini adalah hadits Umar bin Khaththab Raḍiallāhu ‘Anhu. Ia berkata, “Para Shahabat berusaha mengamati hilal, Ternyata akulah yang berhasil melihatnya. Maka aku sampaikan hal itu kepada Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam. Mendengar berita tersebut, beliau mulai berpuasa keesokan harinya dan memerintahkan semua orang untuk mengikutinya berpuasa.” (HR. Abu Daud)
Meskipun hadits ini hanya menyatakan persaksian dari pihak laki-laki, namun pendapat yang paling benar menyatakan bahwa persaksian wanita pun bisa diterima.
Hilal yang menandai masuknya bulan Syawwal, menurut pendapat kebanyakan ulama tidak cukup dengan satu orang saksi saja. Penetapannya harus didasari dkesaksian dua orang yang adil. Dan hal ini berdasarkan sabda Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Jika ada dua orang yang adil bersaksi telah melihatnya, maka hendaklah kalian berpuasa dan berhariraya.” (HR. An-Nasa’i)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Puasa Ramadhan, Source: Photo by GS Image
Jika hilal tidak terlihat pada malam 30 Sya’ban dengan keadaan langit yang cerah tanpa ada penghalang apapun, maka bilangan hari bulan Sya’ban digenapkan menjadi 30 hari. Dengan demikian, keesokan harinya belum berpuasa.
Hal ini berdsarkan hadits yang diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar Raḍiallāhu ‘Anhumā yang menyatakan bahwa Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Bulan itu terdiri dari 29 malam. Karena itu janganlah kalian berpuasa hingga benar-benar melihatnya hilal. Jika pandangan kalian terhalang oleh awan, maka sempurnakanlah bulan Sya’ban menjadi 30 hari.” (HR. Bukhari)
Jika hilal terlihat di suatu negara, maka seluruh negara yang berada dalam satu mathla’ atau tempat munculnya bulan harus berpuasa. Inilah pendapat yang paling tepat di antara sekian pendapat ulama dan merupakan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.
Dikutip dari: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ Wama Yajibu an Ta’rifahu Kullu Muslimatin min Ahkam. Edisi terjemah: Alih Bahasa M. Taqdir Arsyad, Fikih Sunnah Wanita Panduan Lengkap Wanita Muslimah, (Bogor: Griya Ilmu, 2019), 292-294.
Thumbnail Source: Photo by GS Image
Artikel Terkait:
Kedudukan Puasa