Ketahuilah, bahwa puasa mempunyai kekhususan yang tidak dimiliki oleh selainnya, yaitu penyandarannya kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā, di mana Dia berfirman, “Puasa itu untuk-Ku dan Aku yang membalasnya.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Penyandaran ini cukup memberinya kemuliaan sebagaimana kakbah mendapatkan kemuliaan dengan disandarkan kepada Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā dalam firman-Nya, “Sucikanlah rumah-Ku.” (QS. Al-Hajj: 26).
Puasa diberi keutamaan karena dua perkara:
Pertama, ia adalah rahasia dan merupakan amal batin, menusia tidak melihatnya dan tidak dimasuki oleh riya.
Kedua, ia mengalahkan musuh Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā (yaitu setan), karena senjata musuh Allah itu adalah hawa nafsu dan syahwat yang akan menjadi kuat dengan makan dan minum. Selama lahan hawa nafsu dan syahwat itu subur maka selama itu setan akan hilir mudik ke tempat tersebut, sebaliknya meninggalkan hawa nafsu dan syahwat (dengan berpuasa) mempersempit jalan-jalan bari mereka.
Puasa mempunyai tiga tingkatan: puasa umum, puasa khusus, dan puasa yang khusus dari yang khusus. Puasa umum adalah menahan perut dan kelamin dari memenuhi hawa nafsunya. Puasa khusus adalah menahan pandangan, lisan, tangan, kaki, pendengaran, dan anggota badan lainnya dari dosa-dosa. Puasa yang khusus dari yang khusus adalah puasa hati dari keinginan yang rendah, pikiran yang menjauh dari Allah, dan menahannya dari selain Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā secara total.
Di antara adab puasa khusus adalah menundukkan pandangan dan menjaga lisan dari mengucapkan kata-kata yang menyakiti, berupa kata-kata haram atau makruh atau kata-kata yang tidak berguna serta menjaga anggota tubuh lainnya.
Dalam hadis riwayat al-Bukhari bahwa Nabi Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّورِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa yang tidak meninggalkan kata-kata dusta dan melakukannya maka Allah tidak memerlukan dia meninggalkan makanan dan minumannya.” (HR. al-Bukhari, Ahmad, dan Abu Dawud).
Adab yang lain adalah tidak mengisi penuh perut dengan makanan di malam hari, sebaliknya hanya makan sebatas kebutuhan, karena:
مَا مَلأَ آدَمِيٌّ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ
“Anak cucu nabi Adam tidak mengisi bejana yang lebih buruk daripada perut.” (HR. al-Tirmidhi)
Bila di awal malam sudah kenyang maka orang yang bersangkutan tidak mengambil manfaat di sisa malamnya. Demikian pula bila dia kenyang saat sahur maka dia tidak mengambil manfaat dari waktunya sampai menjelang Zuhur, karena makan banyak mengundang kemalasan dan menjadikan badan terasa berat, kemudian dia menghilangkan maksud dari puasa dengan banyak makan, karena yang diinginkan darinya adalah supaya dia merasakan kelaparan dan meninggalkan apa yang diinginkan.
Dirangkum dari: Ibnu Qudamah al-Maqdisi, Mukhtasar Minhajul qasaidin: Meraih Kebahagiaan Hakiki Sesuai Tuntunan Ilahi, (Jakarta: Darul Haq, 2000), 71-74.
#Adab Puasa #Fikih Puasa #Puasa Ramadan #Puasa #Rahasia Puasa