Negara-negara muslim modern perlu sumber pendapatan yang memungkinkan untuk melakukan fungsi alokasi, distribusi, dan stabilisasi secara efektif dengan cara memungut pajak modern. Cara ini dianggap lebih realistis dibanding hanya membatasi pendapatan pada sumber-sumber yang dibahas oleh ulama klasik, seperti ghanīmah, fay’, jizyah, kharāj, dan ‘ushūr. M. Umer Chapra menganggap bahwa tiga sumber pendapatan klasik dari ghanīmah, fay’, dan jizyah dianggap tidak lagi valid untuk diterapkan pada masa kini. Karenanya perlu untuk melengkapi sumber penerimaan negara dengan sistem pajak modern sebagai sikap yang realistis sesuai dengan kondisi perekonomian modern.[1]
M. Umer Chapra memandang perlunya pengembangan sistem pajak yang adil dan efektif tanpa melanggar Alquran dan sunah serta tanpa menyebabkan pajak yang berlebihan atau defisit anggaran. Maka, klasifikasi sumber pendapatan dalam karangka ini adalah sumber pendapatan yang disepakati oleh ulama klasik, pertambahan pajak yang dibolehkan, pajak opresif, dan pajak progresif. M. Umer Chapra mengatakan bahwa ulama seperti Syekh Ḥasan al-Bannā, Yūsuf al-Qarḍāwī, dan al-‘Abbādī berpandangan bahwa pajak proresif sangat sesuai dengan etos Islam karena membantu mereduksi kesenjangan pendapatan dan kekayaan.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Sistem Pajak yang Adil, Source: Photo by Danish Pexels
M. Umer Chapra berpendapat bahwa pengeluaran keuangan publik harus sesuai dengan syariat Islam. Menurut dia ada enam prinsip-prinsip belanja publik berdasarkan syariat Islam sebagai landasan rasional dan konsistensi pengeluarakan publik, yaitu: (1) semua alokasi pengeluaran harus dipergunakan untuk kemaslahatan umat. (2) Penghapusan kesulitan dan kerugian harua didahulukan dibandingkan dengan penyediaan kenyamanan. (3) Kemaslahatan mayoritas yang lebih besar harus lebih didahulukan daripada kemaslahatan minoritas. (4) Pengorbanan dan kerugian privat dapat ditimpakan untuk menyelamatkan pengorbanan dan kerugian publik. Serta suatu pengorbanan dan kerugian yang lebih besar dapat dihindarkan dengan memaksakan pengorbanandan kerugian yang lebih kecil. (5) Siapa saja yang mendapatkan manfaat, maka dia harus bersedia menanggung biaya. (6) Hal-hal yang tidak dapat terwujudnya suatu kewajiban melainkan dengan sesuatu, maka sesuatu tersebut hukumnya menjadi wajib.[2]
==========
[1] M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), 284-286
[2] M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia), 287-288. M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia, 2000), 287.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 72-73.
Thumbnail Source: Photo by Gdtography Pexels
Artikel Terkait:
Aspek Keadilan Kewajiban Pajak