Umer Chapra berpendapat bahwa subjek sumber-sumber keuangan publik tidak hanya terbatas sumber-sumber klasik saja. Pembatasan subjek pada apa-apa yang dipungut di masa klasik tidak lagi realistis. Terlebih beban tanggung jawab negara pada masa modern semakin bertambah. Karenanya M. Umer Chapra berpendapat bahwa negara Islam berhak menetapkan pajak untuk meningkatkan sumber dayanya dengan syarat pungutan dilakukan dengan cara yang benar dan dalam batas mampu dipikul.
Chapra menegaskan bahwa sumber keuangan yang berasal dari pajak meruapakan suatu yang realistis. Sebab tidak mungkin suatu negara mampu memenuhi kebutuhan infrastruktur fisik dan sosial yang sangat besar serta mempercepat pembangunan tanpa adanya pendapatan pajak yang memadai. Dasar argumentasi kebutuhan sumber keuangan yang berasal dari pajak adalah atas dasar maqāsid. Tidak akan ditemukan argumentasi dari kitab-kitab fikih klasik disebabkan perbedaan kondisi ekonomi pada masa dulu dengan sekarang. Hanya saja M. Umer Chapra menetapkan syarat “yang adil” pada sistem pajak.
Menurutnya sistem pajak dikatakan adil jika terpenuhi tiga syarat, yaitu: pertama, pajak dipungut untuk membiayai apa yang dipandang mutlak diperlukan demi mewujudkan maqāsid sharī’ah; kedua, beban tidak sama sehubungan dengan kemampuan orang yang memikulnya dan harus didistribusikan merata kepada meraka yang membayar; dan ketiga, dana pajak yang terkumpul harus dipergunakan sesuai dengan tujuan pengumpulannya. Jika sistem pajak tidak memenuhi ketiga syarat ini maka M. Umer Chapra menganggapnya sebagai suatu yang terlarang, dipandang menindas, dan secara aklamasi dikutuk.[1]
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Sumber Keuangan Publik, Source: Photo by Tima M Pexels
Yūsuf al-Qarḍāwī juga berpandapat bahwa jika suatu negara tidak memiliki pemasukan yang cukup untuk memenuhi kebutuhannya dan tidak ada cara lain selain pajak, maka tidak mengapa negara menetapkan kewajiban membayar pajak atas rakyatnya. Tapi, Yūsuf al-Qarḍāwī mensyaratkan beberapa hal diperbolehkannya menerapkan pajak, yaitu; pertama, negara sangat membutuhkan harta dan tidak ada cara lain selain bersumber dari pajak; kedua, beban kewajiban membayar pajak dilakukan dengan cara adil dan adil yang dimaksud bukan persamaan, tapi adil yang dimaksud adalah kadar kewajiban dibebankan sesuai dengan kadar kemampuan dan kepemilikan harta seseorang; ketiga, harta pajak yang terkumpul didistribusikan untuk kemaslahatan umat, bukan pada kemaksiatan atau berdasarkan syahwat; keempat: disepakati di antara para ahli dan ulama di kalangan umat.[2]
==========
[1] M. Umer Chapra, Masa Depan Ilmu Ekonomi: Sebuah Tinjauan Islam, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia, 2001), 282-287. M. Umer Chapra, Islam dan Tantangan Ekonomi, (Jakarta: Gema Insani Press dan Tazkia Cendikia, 2000), 294-295.
[2] Yūsuf al-Qarḍāwī, Fiqh al-Zakāt: Dirāsah Muqāranah Li Ahkāmiha wa Falsafatiha Fi Dhau’i al-Kitāb wa al-Sunnah, (Beirūt: Muasasah al-Risālah, 1973), 1, 1079-1088.
Dikutip dari: Dr. Ghifar, Lc., M.E.I., Konsep dan Implementasi Keuangan Negara pada Masa Al-Khulafa Al-Rashidun, (Cirebon: Nusa Literasi Inspirasi, 2020), 57-58.
Thumbnail Source: Photo by Gizem Pexels
Artikel Terkait:
Keuangan Publik Islam