Seorang thalibul ilmu harus bertawakal dalam menuntut ilmu, tidak usah memikirkan urusan mencari rezeki dan menyibukkan hatinya dengan urusan itu.
Abu Ja’far meriwayatkan, bahwa Abu Hanifah Raḥimahullāh meriwayatkan dari Abdulah bin Al-Hasan Az-Zubaidiy sahabat Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam, “Siapa yang mempelajari agama Allah, maka Allah akan mencukupi keinginannya dan memberinya rezeki dari jalan yang tidak disangka-sangka.
Pasalnya, orang yang hatinya sibuk dengan urusan rezeki, seperti (makanan) atau pakaian, maka jarang sekali ia akan mendedikasikan dirinya untuk meraih perkara-perkara yang mulia (akhlak dan perkara-perkara yang mulia).
Dalam sebuah syair disebutkan:
Tinggalkan kemuliaan (dunia yang tak kau miliki),
Jangan kau berkelana mencarinya.
Duduklah, kau akan disuapi dan diberi pakaian.
Ada seorang lelaki berkata kepada Manshur Al-Hallaj Raḥimahullāh, “Berilah aku nasihat!” Ia pin berkata, “Adalah jiwamu; jika engkau tidak menyibukkannya (memanfaatkannya) maka ia (jiwamu) yang akan menyibukkan dirimu.”
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Tawakal dalam Menuntut Ilmu, Source: Photo by Sby Mengaji Unsplash
Setiap orang hendaknya menyibukkan dirinya dengan amal-amal kebaikan, supaya tidak sibuk dengan hawa nafsunya. Orang yang berakal tidak perlu merisaukan urusan dunia karena kerisauan dan kesedihan tidak dapat menolak musibah, dan juga tidak bermanfaat, bahkan membahayakan (hati), akal, badan, serta dapat merusak amal-amal kebaikan. Sebaliknya, setiap orang hendaknye memikirkan urusan akhirat karena hal itu akan bermanfaat.
Adapun mengenai sabda Nabi Muhammad Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam:
“Sesungguhnya ada beberapa dosa yang tidak bisa dilebur kecuali oleh kerisauan dalam memikirkan ma’isyah (penghidupan).”
Hamm (kegelisahan) yang dimaksud adalah kegalisahan yang masih dalam batas-batas yang tidak sampai merusak amal kebaikan dan tidak menyibukkan hati yang dapat merusak kekhusyukan dalam shalat. Jadi, (kerisauanO dalam batasan itu termasuk amalan yang bermanfaat di akhirat.
Seorang penuntut ilmu harus dengan sekuat tenaga mempersedikit kesibukan duniawinya. Untuk itu, banyak pelajar yang lebih memilih hidup mengasingkan diri.
Seorang thalibul ilmu juga harus siap berletih-letih dan bersusah-susah saat menempur perjalanan untuk menuntut ilmu (Hal ini tidak pernah dikisahkan dari Nabi Musa dalam perjalanan selainnya).
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman
لَقَدْ لَقِينَا مِنْ سَفَرِنَا هَذَا نَصَبًا
“Sungguh kita telah merasa letih karena perjalanan kita ini.” (QS. Al-Kahfi [18]: 62)
Padahal Nabi Musa tidak pernah mengatakan seperti itu dalam perjalanan-perjalanan lainnya.
Panting diketahui bahwa perjalanan menuntut ilmu itu tidak akan lepas dari kesusahan, karena menuntut ilmu merupakan perkara yang agung, dan menurut sebagian besar ulama, menuntut ilmu itu lebih mulia dari berperang. Dan besar kecilnya pahala (thalabul ilmi) berbanding lurus dengan keletihan dan kelelahan yang dirasakan.
Siapa yang mampu bersabar dalam menghadapi segala kesulitan di atas, maka akan mendapatkan kelezatan yang melebihi segala kelezatan yang ada di dunia. Oleh karena itu, Muhammad bin Al-Hasan Raḥimahullāh setelah tidak tidur beberapa malam lalu terpecahkan beberapa persoalan yang dihadapinya, ia berkata, “Di manakah letak kenikmatan putra-putra raja, bila dibandingkan dengan kenikmatan yang saya dapatkan kali ini.”
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Tawakal dalam Menuntut Ilmu, Source: Photo by Masjid Maba Unsplash
Seorang penuntut ilmu hendaknya tidak sibuk dengan urusan-urusan lain (selain ilmu), dan jangan pula berpaling dari ilmu fikih. Muhammad Raḥimahullāh berkata, “Siapa yang ingin meninggalkan ilmu kami ini sesaat saja, silahkan ia meninggalkan selamanya. (Karena sesungguhnya proyek kami ini, dimulai sejak dari buaian hingga liang lahat).
Ada seorang yang bernama Ibrahim bin Al-Jarrah sempat (menjenguk Abu Yusuf Raḥimahullāh ketika beliau sedang sakit keras menjelang wafat) dan di nafas-nafas akhirnya, Abu Yusuf berkata kepada Ibrahim, “Manakah yang lebih utama, melempar Jumrah dengan berkendaraan atau dengan berjalan kaki?” Ibrahim pun tidak bisa menjawab, maka ia menjawab sendiri.
Demikianlah hendaknya Ahli Fikih selalu menyibukkan dirinya dengan fikih di setiap waktunya. Dengan begitu, ia akan memperoleh kenikmatan yang amat besar.
Dikabarkan bahwa Muhammad Raḥimahullāh dalam mimpi diperlihatkan kejadian setelah wafatnya, lalu ditanyakan kepadanya, “Bagaimana keadaan tuan waktu nyawa dicabut?” jawabnya, “Saat itu saya tengah merenungkan masalah budak mukatab, sehingga aku tidak merasakan nyawaku keluar.” Dan dikatakan pula bahwa di akhir hayatnya Muhammad sempat berkata, “Masalah-masalah mukatab menyibukkan diriku, hingga tidak sempat menyiapkan diri untu menghadapi hari ini.” Beliau mengucapkan itu karena tawadhu’.
Artikel Terkait:
Ayat Tentang Tawakal