Seorang muslim yang meninggalkan shalat karena mengingkari wajibnya shalat maka dia dihukumi kafir, keluar dari Islam menurut kesepakatan kaum muslimin. Adapun orang yang meninggalkan shalat karena meremehkan atau malas tetapi tidak mengingkari kewajibannya maka dia pun dihukumi kafir menurut Imam Ahmad dan banyak ulama.
Hal ini berdasarkan zhazir sabda Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam:
إن بين الرجل و بين الشرك و الكفر ترك الصلاة
Artinya:
“Sesungguhnya pembeda antara seseorang muslim dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim)
Dan sabda beliau Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam:
العهد الذي بيننا و بينهم الصلاة فمن تركها فقد كفر
Artinya:
“Perjanjian atau pembeda antara kami dan mereka adalah shalat, maka siapa yang meninggalkannya, sungguh ia telah kafir.” (HR. An-Nasai)
Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi’i dan yang lainnya berpendapat bahwa orang yang meninggalkan shalat karena meremehkannya atau karena malas, ia tidak keluar dari Islam karena kafir yang dimaksud dalam hadits di atas adalah kafir ashghar (kecil), jika pelakunya berada di bawah kehendak Allah, jika Allah berkehendak menyiksanya maka Dia akan menyiksanya, begitu pula sebaliknya, jika Allah berkehandak mengampuninya, maka Dia akan mengampuninya.
Meskipun kedua kelompok di atas berbeda dalam menghukumi orang yang meninggalkan shalat, namun mereka sepakat menyatakan bahwa orang yang meninggalkan shalat telah melakukan dosa yang sangat besar setelah syirik kepada Allah.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Tidak Mengerjakan Shalat, Source: Photo by Michael B Pexels
Ada beberapa alasan kenapa seseorang tidak mengerjakan shalat, di antara alasan-alasan tersebut yaitu:
Jika seseorang tertidur atau lupa mengerjakan shalat, maka dapat mengerjakannya ketika terbangun atau ketika ingat bahwa engkau belum mengerjakan shalat tanpa membayar kaffarat.
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Barangsiapa yang lupa atau tertidur sehingga belum mengerjakan shalat, maka kaffaratnya ia harus mengerjakannya (shalat) ketika ia ingat.” (HR. Bukhari Muslim)
Kejadian seperti ini pernah dialami oleh Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam dan para sahabat Raḍiallāhu ‘Anhumā dalam satu perjalanan (safar). Ketika itu mereka semua tertidur hingga panasnya matahari yang telah terbit membangunkan mereka. Saat itu juga Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda:
“Tidur bukanlah kelalaian. Kelalaian adalah orang yang tidak mengerjakan shalat hingga waktu shalat berikutnya tiba. Oleh karena itu, jika seseorang lupa atau tertidur, maka hendaklah ia mengerjakan shalat (yang ia tertidur atau terlupa darinya) ketika terbangun atau teringat.” (HR. Bukhari Muslim)
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Tidak Mengerjakan Shalat, Source: Photo by Michael B Pexels
Jawaban yang paling tepat dari dua pendapat dalam masalah ini bahwa orang tersebut tidak mengqadha (tidak mengganti) shalatnya, bahkan kalaupun ia shalat, maka shalatnya tidak sah. Alasannya, karena shalat adalah ibadah yang dibatasi oleh waktu tertentu, ia memiliki waktu awal dan waktu akhir.
Tidak boleh mengerjakan shalat sebelum waktunya, begitu pula setelah waktunya habis kecuali karena alasan lain yang berdasarkan dalil seperti orang yang tertidur dan lupa. Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا (103)
Artinya:
“Sesungguhnya shalat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.” (QS. An-Nisa: 103)
Selain ayat di atas, Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam pun tidak pernah memberikan keringanan untuk mengerjakan shalat di luar waktunya kecuali bagi orang yang tertidur atau terlupa. Hal ini menunjukkan tidak adanya qadha’ bagi orang yang meninggalkan shalat tanpa udzur.
Sama dengan penjelasan sebelumnya, orang seperti ini tidak mengqadha sekian banyak shalat yang telah ia tinggalkan. Dia harus banyak-banyak bertaubat dengan taubat nasuha, kemudaian beristiqamah di atas agama Islam dan memelihara shalatnya.
Dikutip dari: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ Wama Yajibu an Ta’rifahu Kullu Muslimatin min Ahkam. Edisi terjemah: Alih Bahasa M. Taqdir Arsyad, Fikih Sunnah Wanita Panduan Lengkap Wanita Muslimah, (Bogor: Griya Ilmu, 2019), 081-083.
Thumbnail Source: Photo by Michael B Pexels
Artikel Terkait:
Keutamaan Shalat Isya dan Subuh