Secara bahasa, mahar diartikan sebagai sesuatu yang menjadi wajib karena adanya pernikahan. Adapun secara syar’i, mahar adalah sesuatu yang menjadi wajib, baik berupa harta maupun manfaat, dikarenakan adanya akad pernikahan ataupun jima’ atau senggama.
Mahar merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh mempelai pria ketika hendak meminang seorang wanita. Mahar juga sebagai tanda kesungguhan seorang laki-laki untuk menikahi wanita.
Hal ini sebagaimana firman Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā,
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (4)
Artinya:
“Berikanlah maskawin atau mahar kepada wanita yang kamu nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepadamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, maka makanlah atau ambillah pemberian itu sebagai makanan yang sedap lagi baik akibatnya.” (QS. An-Nisa: 4)
Ayat di atas menunjukkan bahwa Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā memerintahkan kaum laki-laki untuk memberikan mahar kepada wanita yang hendak dinikahi.
Lantas, bagaimana hukum mengeluarkan zakat mahar? Berikut penjelasannya.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Zakat Mahar, Source: Photo by Axecop Pexels
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa mahar merupakan pemberian dengan penuh kerelaan dari seorang laki-laki kepada seorang wanita yang hendak dinikahi.
Mahar atau maskawin yang diberikan oleh seorang pria kepada seorang wanita, statusnya sama dengan harta yang lainnya. Karena itu, hukum zakat berlaku padanya sebagaimana harta biasa lainnya, jika telah mencapai nishab dan melewati masa haulnya.
Apabila maharnya itu adalah mahar yang pembayarannya ditunda, maka hukumnya adalah hukum hutang. Jika suaminya adalah orang yang berkelapangan dan mampu menunaikan utangnya, maka ia (wanita tersebut) wajib mengeluarkan zakat dari mahar yang masih berada pada suaminya, karena diharapkan optimis akan dilunasi.
Namun, jika suaminya adalah orang yang miskin (susah), maka wanita tersebut tidak wajib mengeluarkan zakat mahar yang masih menjadi tanggungan suaminya tersebut, menurut pendapat yang kuat. Namun, jika ia telah menerima maharnya (yang pembayarannya ditunda) maka hendaklah ia mengeluarkan zakatnya untuk satu tahun.
Adapun ketika seorang wanita telah menerima maharnya, kemudian ia dicerai oleh suaminya sebelum dicampuri, dan telah mencapai batas haul, maka ia wajib mengeluarkan zakat dari setengah maharnya, dan suami menanggung zakat setengahnya lagi.
Itulah beberapa hukum terkait dengan mengeluarkan zakat mahar.
Site: Bina Qurani Islamic Boarding School, Image: Zakat Mahar, Source: Photo by Filip Pexels
Zakat merupakan salah satu dari rukum Islam yang menganjurkan kaum muslimin untuk mengeluarkan sebagian harta yang dimilikinya. Harta yang dikeluarkan untuk zakat, akan menambah keberkahan dari harta yang telah dikeluarkan, melindungi dari malapetaka dan mensucikan jiwa orang yang mengeluarkannya.
Allah Subḥānahu Wa Ta’ālā berfirman:
خُذْ مِنْ أَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيهِمْ
Artinya:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Rasulullah Ṣallallāhu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda,
بُنِيَ الإِسْلاَمُ عَلَى خَمْسٍ ، شَهَادَةِ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ ، وَحَجِّ البَيْتِ
Artinya:
“Islam ini dibangun atas lima pondasi, ‘Syahadat bahwa tidak ada ilah yang berhak disembah (dengan benar) kecuali Allah dan Muhammad adalah Rasulullah, mendirikan shalat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan Ramadhan dan nai haji ke Baitullah.” (HR. Bukhari Muslim)
Dikutip dari: Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Fiqhus Sunnah Lin Nisa’ Wama Yajibu an Ta’rifahu Kullu Muslimatin min Ahkam. Edisi terjemah: Alih Bahasa M. Taqdir Arsyad, Fikih Sunnah Wanita Panduan Lengkap Wanita Muslimah, (Bogor: Griya Ilmu, 2019), 269-270.
Thumbnail Source: Photo by Filip Pexels
Artikel Terkait:
Judul Artikel